Sumpahan Jerunei (Curse of the Totem) mengangkat tradisi yang eksis pada abad ke-13 mengenai penguburan para bangsawan di Melanau, Sarawak yang harus mengorbankan dua manusia (laki-laki dan perempuan yang dianggap dekat atau budak). Terdengar menarik sekaligus creepy disaat yang bersamaan. That's why i'm sold. Terlebih pembukanya meluangkan waktu untuk menjabarkan asal-usul tradisi tersebut lewat sebuah animasi yang menjadi daya tarik tersendiri.
Cerita kemudian bergulir, mengetengahkan aksi ekspedisi yang dikepalai oleh Dr. Sani (Bront Palarae) yang menyusuri hutan bersama timnya guna melakukan riset atas nama pelesatrian budaya Melanau terhadap keberadaan jerunei yang akan dijadikan sebuah warisan budaya setempat.
Mudah untuk menebak kemana alurnya berjalan. Sumpahan Jerunei tak memberikan sebuah pembaharuan selain setia dengan pola film horor-petulangan berbasis penelitian. Pun, ekspedisi yang dilakukan untuk kedua kalinya ini menyimpan sebuah motivasi bagi Dr. Sani, yakni mencari jawaban atas menghilangnya sang istri.
Disutradarai oleh Jason Chong (Belukar, Adiwiraku, Tebus the Movie) yang turut menulis naskah bersama Sky Khor (Tebus the Movie, Gemencheh Boys), Sumpahan Jerunei menghabiskan paruh pertama dengan mengenalkan masing-masing tim ekspedisi, salah satu yang paling diberikan sorotan lebih adalah Bee (Uqasha Senrose) yang diniati sebagai karakter yang cukup penting, meskipun miskin karakterisasi.
Sumpahan Jerunei menawarkan sebuah misteri yang lewat beberapa karakternya termasuk menghadirkan seorang bomoh (dukun) dengan tampilan misterius yang seperti kebanyakan film serupa adalah karakter yang diantagonisasi. Kontuniti bagi karakternya pun patut dipertanyakan, mengingat Sumpahan Jerunei terkadang terlalu asik sendiri dan mengenyahkan koneksi dengan penonton.
Berbicara mengenai horor, triknya amat usang dan klasik, di mana cukup bermodalkan jump scare serampangan dengan scoring berisik. Memasuki paruh kedua, barulah progres dilakukan dengan menampilkan sosok hantu utama yang ternoda akibat penggunaan CGI kasar dan tidak meyakinkan.
Ingin rasanya saya menyukai Sumpahan Jerunei andai filmnya lebih dalam mengulik tradisi dan adatnya sendiri ketimbang harus dipaksa menampilkan sebuah twist yang tak kalah klasik. Dikatakan bahwa kutukan tersebut akan terus berlanjut selama pewaris keturunan terakhir masih hidup yang justru dijadikan alasan untuk filmya menampilkan sebuah kemalasan.
SCORE : 2/5
0 Komentar