Mudah saja untuk menyebut Agak Laen sebagai satu lagi projek aji mumpung berbekal ketenaran yang mereka mulai dari kanal podcast (eksis sejak tahiun 2021) hingga YouTube (dan berhasil mengumpulkan lebih dari 560 ribu pelanggan). Stigma seperti itu memang tak terbantahkan, namun sutradara sekaligus penulis naskah Muhadkly Acho (Gara-Gara Warisan, Ghost Writer 2) berhasil membuktikan bahwa Agak Laen memang seperti judulnya, sebuah tontonan lain yang sarat akan hiburan menyenangkan.
Semua bermula ketika Oki (Oki Rengga) yang selepas keluar dari penjara, merasa jengah setelah menjadi boneka mainan di sebuah pasar malam. Ia kemudian mendatangi tiga sahabatnya, Boris (Boris Bokir), Bene (Bene Dion Rajagukguk) dan Jegel (Indra Jegel) yang mengelola rumah hantu di tempat yang sama. Awalnya mereka menolak kehadiran Oki karena rumah hantu mereka pun sangat sepi. Hingga ide brilian dari Oki yang memutuskan untuk mengadaikan sertifikat rumah disambut baik oleh mereka.
Renovasi pun dilakukan yang menjauhkan rumah hantu mereka dari kesan rumah miskin. Hingga tatkala seorang pengunjung pertama datang (Arief Didu) strategi baru yang dilakukan justru merenggut nyawa seorang Caleg akibat serangan jantung. Karena tak ada pilihan, mereka pun mengubur mayat di wahana yang berujung murka ketika sang arwah gentayangan dan malah meningkatkan jumlah pengunjung yang silih berdatangan.
Begitulah naskah buatan Acho bekerja berbekal ide absurd yang menghasilkan keputusan tak kalah absurd. Agak Laen memang penuh akan kesengajaan demi menciptakan sebuah kesenangan. Hasilnya? Jelas bekerja sebagaimana mestinya. Pun, dalam menggerakan nahkodanya kentara Acho terus memutar otak guna menghantarkan filmnya pada sebuah momen komedik menggelitik namun tak lupa menyelipkan unsur drama yang mampu memantik.
Kuartet Agak Laen memainkan versi fiktif dari diri mereka. Oki membutuhkan biaya untuk menebus obat sang ibu, Bene dituntut permintaan calon mertua untuk mempersiapkan pernikahan, Boris didorong sang ibu untuk menjadi anggota militer sementara Jegel terlilit utang judi yang mengharuskannya bersembunyi di mesjid. Motivasi mereka jelas, pun menyimpan relevansi bagi kehidupan sehari-hari berupa kedekatan persentasi lewat tuturan komedi.
Itulah mengapa Agak Laen mudah untuk dipahami. Pun, dalam penuturannya Acho menghadirkan sebuah genre bending yang memikat (peleburan horror-comedy dengan sentuhan suspense tampil begitu baik) dan sulit rasanya untuk tak memalingkan wajah dari layar, bahkan penempatan produk pun ia jadikan sebagai kreativitas untuk sekali lagi memunculkan sebuah lelucon tepat guna.
Tentu, Agak Laen bukan tanpa cacat. Terkadang Acho terlalu berlama-lama merangkai sketsa yang berujung pada membengkaknya durasi (mencapai 119 menit) disamping beberapa momen drama yang terlalu dipadatkan kehadirannya. Beruntung, berkat jajaran pemainnya semuanya dapat dimaafkan berbekal chemistry meyakinkan pula kedekatan secara personal yang memudahkan mereka menampilkan banter dialog secara natural.
Konklusinya pun tampil tegas, meski lewat sebuah adegan yang teramat sederhana. Agak Laen menjadi contoh sederhana bagaimana sebuah film dibuat tanpa harus tampil pretentius. Saya belum menyebut bahwa filmnya pun secara tak langsung memberikan sindiran cukup tegas entah itu bagi fenomena yang marak terjadi dewasa ini maupun bagi industri film lokal yang gemar mengeksploitasi hal berbau horor.
SCORE : 4/5
0 Komentar