Sederhana saja, alasan memutuskan untuk menyaksikan Ritual Tumbal Terakhir ini karena memiliki premis yang menarik menyoal nuansa kearifan lokal yang dekat dengan masyarakat kita. Misalnya perihal weton atau kelahiran seseorang, belum lagi unsur didalamnya yang turut menyentuh ranah mitologi pewayangan seputar kisah Rahwana. Tambahkan para pemain muda yang sudah tak diragukan lagi kapasitasnya, keterlibatan Yasamin Jasem hingga Bryan Domani merupakan daya tarik tersendiri.
Sayang, potensi yang dimiliki oleh Ritual Tumbal Terakhir hanya berjalan di permukaan saja, sebatas menyentuh tanpa pernah tampil secara menyeluruh. Naskah yang ditulis oleh S Trisasongko Hutomo bersama Ifan Ismail seolah kebingungan bagaimana merangkai narasi dan kemudian mengambil jalan pintas dengan menerapkan segala pakem horor berupa jumpscare serampangan yang sangat mengganggu.
Kisahnya sendiri menyoroti Mayang (Yasamin Jasem) seorang tour guide yang hendak menemani Hans (Bryan Domani), turis asal Belanda yang memiliki darah Jawa. Sementara saya mempertanyakan kehadiran Bryan Domani yang seolah tampil sebagai extended cameo dengan minim dialog dan performa yang serba dipaksakan hanya untuk membuat karakternya terlihat misterius. Sungguh, kesempatan yang amat disayangkan.
Di saat yang bersamaan, Mayang pun dibuat kebingungan ketika sang kekasih, Pram (Axel Matthew Thomas), seorang arkeolog yang tengah meneliti makam Ki Panjang Mas untuk keperluan tesisnya didiuga menjadi tersangka pembunuhan dan diamankan oleh polisi setempat (diperankan oleh Eka Nusa Pertiwi). Ketimbang melakukan tesis, kita hanya melihat Pram sebagai orang yang tengah berkemah tanpa ada keinginan untuk melakukan sebuah penelitian.
Ritual Tumbal Terakhir kentara penuih cela sejak paruh pertama yang menyebutkan sebuah rules mengenai weton jumat kliwon beserta telapak kaki darah yang hingga konklusinya berlangsung urung untuk dijelaskan mengenai rules-nya. Dinahkodai oleh Eddy Prasetya (Malik & Elsa, MayFlies) Ritual Tumbal Terakhir adalah sajian penuh omong kosong yang abai akan materi sarat potensi miliknya.
Satu hal yang menarik adalah ketika filmnya menyoroti kegiatan Damarjati (Seteng Sadja), dalang setempat sekaligus ayah Mayang ketika memainkan cerita pewayangan. Itupun terjadi hanya secuil, karena setelahnya Ritual Tumbal Terakhir berakhir sebatas tong kosong nyaring bunyinya. Nihil eksplorasi maupun kontuniti.
Beragam pertanyaan dibiarkan menumpuk begitu saja tanpa adanya sebuah jawaban yang pasti. Sebutlah perihal ilmu Pancasona yang urung dijelaskan secara runut hanya untuk menghadirkan sebuah twist klise yang tak seberapa mengejutkan. Konklusinya pun penuh akan kecanggungan, sementara Yasamin Jasem harus menjadi tumbal dari film yang penuh dengan ketidakjelasan.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar