Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - LAMPIR (2024)

 

Masyarakat kita cenderung mengenal sosok Lampir lewat sinetron Misteri Gunung Merapi yang populer pada tahun 1998 sekaligus menaikkan nama Farida Pasha lewat karakter ikonik yang dimainkannya. Hadir sebagai sajian yang benar-benar baru dan tak mempunyai hubungan khusus, sutradara sekaligus penulis naskah Kenny Gulardi (Perjamuan Iblis) membawa sosok Lampir dengan penuh modernisasi, ia bukan lagi sosok nenek berwarna hijau, melainkan entitas yang mendambakan kecantikan abadi.

Wendy (Jolene Marie) tengah mempersiapkan pernikahannya bersama Angga (Rory Asyari) dengan melakukan sesi pre-wedding. Karena kesibukan Angga yang kerap membuat Wendy merasa kesal pemotretan yang dilakukan oleh sahabatnya, Roby (Gandhi Fernando) berjalan kurang maksimal. Ajakan datang dari Agnes (Ardina Rasti), kekasih Roby yang merencanakan liburan sebagai pelepas penat dengan mengunjungi sebuah rumah vintage milik sahabatnya. Wendy yang semula menolak akhirnya memutuskan bergabung. Turut hadir pula Nanda (Hana Saraswati) si perias dan Rizki (Ge Pamungkas), teman lama yang sempat dibenci oleh mereka akibat kesalahan di masa lalu.

Tak butuh waktu lama untuk mereka menjumpai maut, terlebih selepas kematian salah satu karakternya secara mengenaskan. Dari sini, Lampir memulai hidangan utamanya kala masing-masing sahabat dihadapkan pada sebuah permainan kematian yang dirancang oleh Lampir selepas mereka datang ke sarangnya.

Sejak paruh utamanya dibuka yang menampilkan sekilas mengenai sosok Lampir (Sheila Salsabila) dalam balutan warna hitam putih cantik yang mencolok, tak berlebihan jika menyebut Lampir sebagai sajian horror ambisius. Usaha Kenny terlihat jelas membangun sebuah narasi yang siap untuk membuka tabirnya seiring berjalannya durasi. Pun ketimbang menampilkan jumpscare, Lampir menawarkan opsi lain berupa modus operandi sang tituler yang memecah belah karakternya ketimbang sebatas menjadikannya sebagai santapan hampa.

Niatan mulia itu sayangnya tak berlangsung lama ketika perlahan Lampir mulai memasuki paruh kedua. Menerapkan unsur psikologis terhadap karakternya adalah salah kaprah andai tak dibarengi dengan keputusan pula penulisan mumpuni. Kenny mendeskripsikan kekacauan dengan teriakan para karakternya yang tak jarang sangat mengganggu. Terlebih ketiadaan performa meyakinkan para karakternya kurang berperan dalam mewujudkan manifestasi kekacauan yang sebenarnya.

Pujian patut disematkan ketika Lampir mampu menjadikan sosok terbarunya ini dengan tampilan yang menjauhi sosok pendahulunya. Sayang, kurangnya lore maupun kehadiran sang tituler yang sengaja disimpan diakhir membuat filmnya terasa sangat kopong dengan nihilnya progresi alur sarat stagnansi alih-alih isi, Kesan draggy pun sulit untuk dijauhkan.

Dengan segala potensi miliknya, Lampir bisa saja menjadi sebuah angin segar andai filmnya menggunakan adaptasi sebagai ajang eksplorasi. Pun, jika ditilik dari segi artistik, Lampir jelas penuh akan cela ketika menginterpretasikan gaya tanpa memperhatikan skema (sebutlah penggunaan teknik kamera long take yang kurang konsisten, disamping CGI yang kentara terasa jomplang). Kisahnya mungkin terlihat sangat kelam meski hasil akhirnya bak sebuah usaha tambal-sulam.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar