Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - KERETA BERDARAH (2024)

 

Setelah vakum selama setahun dan terakhir menyutradarai Mumun (2022), Rizal Mantovani kembali ke genre yang membesarkan namanya, yang kali ini membawa sebuah cerita yang cukup segar dan baru. Kereta Berdarah, sedari trailernya dirilis sudah menawarkan sebuah pengalaman yang berbeda dengan desain hantu unik (lebih dekat ke ranah monster ketimbang hantu konvensional) yang sudah jadi keunggulan film buatannya. Diatas kertas, filmnya jelas menjanjikan.

Semua berawal dari keputusan Purnama (Hana Malasan) yang mengajak serta sang adik, Kembang (Zara Leola) untuk berlibur ke sebuah resor Sangkara setelah kesembuhannya dari kanker. Untuk sampai ke tujuan, mereka menaiki sebuah kereta jalur khusus beserta para penumpang lain dalam peluncuran pertamanya. Purnama dan Kembang adalah penumpang kelas ekonomi, sementara Bupati (Kiki Narendra) bersama sang investor (Yama Carlos) duduk di gerbong paling depan dengan kelas VIP.

Ditulis naskahnya oleh Erwanto Alphadullah (Mangkujiwo, Di Ambang Kematian), Kereta Berdarah turut melempar kritik tersembunyi, mulai dari kelas sosial, kesenjangan, kapitalis dan individualis serta muatan bernuansa ekologi. Apa yang ditampilkan Alphadullah jelas layak diapresiasi, meski untuk sampai pada titik tersebut naskah buatannya kurang cakap dalam mengejawantahkan apa yang seharusnya diterapkan.

Saya paham betul tujuan utama filmnya, meski sulit untuk menghindari rules yang bak sebuah kemalasan bagi filmnya menampilkan sampul horor. Kereta dengan tujuan Sangkara memiliki lima gerbong, dan setiap melewati terowongan satu gerbong menghilang. Demikian aturan yang diterapkan sang hantu yang seolah patuh terhadap aturan (meski di saat yang bersamaan ini bak sebuah pisau bermata dua).

Alhasil, teror sesungguhnya berasal ketika kereta melewati sebuah terowongan dan apa yang ditampilkan Rizal adalah bentuk repetisi yang sangat mudah diprediksi. Benar, ketika momen tersebut berlangsung, Kereta Berdarah serupa judulnya tak segan untuk menumpahkan darah. Butuh sebuah intensitas tinggi dalam menanganinya, dan Rizal masih belum cakap merangkai pengadeganan yang seharusnya dilakukan.

Seperti yang telah saya singgung, desain hantunya adalah sebuah poin plus tersendiri, namun ketika hantu tersebut mulai beraksi seolah tampil tanpa taji, semuanya berlangsung tampil draggy dan terlalu singkat untuk dinikmati. Terlebih, ketika memasuki paruh ketiga, Kereta Berdarah mulai kelabakan dalam menampilkan sebuah kekacauan.

Konklusinya memang terbilang berani, meski disamping keputusan ini muncul kesan mendadak yang sulit untuk dihindari, termasuk latar belakang karakter utamanya yang bak sebuah kecurangan demi menyampaikan pesan sosial dan membuat karakternya lolos dari kejaran. Ketidaksempurnaan yang dimiliki karakternya seolah mengamini keseluruhan Kereta Berdarah yang tersendat akibat potensi yang minim energi dan urung tergali.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar