Monster (memiliki judul asli Kaibutsu) menjadi film pertama yang tak melibatkan nama sutradara Hirokazu Kore-eda (Like Father Like Son, Shoplifters, Broker) sebagai penulis naskah. Naskahnya sendiri ditulis oleh Yuji Sakamoto (yang juga berhasil memenangkan Best Screenplay di ajang penghargaan bergengsi Palme d'Or), yang sebagaimana karya Kore-eda sebelumnya, masih berkutat di permasalahan kelurga, hanya saja yang ini lebih personal.
Ya, Monster terasa personal karena turut memainkan sebuah persepsi masing-masing, baik itu karakter maupun penonton. Semuanya berawal dari sebuah hostess bar yang mengalami kebakaran di pertengahan kota Jepang, Saori (Sakura Ando) dan sang anak semata wayangnya, Minato (Sōya Kurokawa) tengah mengamati. Sebuah momen sederhana ini rupanya merupakan pertanda, yang secara subtil Kore-eda tampilkan untuk kejadian setelahnya.
Sebagai seorang ibu yang tahu persis tumbuh-kembang sang anak, Saori merasa Minato bertingkah aneh selepas pulang sekolah. Ia heran dengan tingkah sang anak yang mendadak memotong rambut, pergi ke terowongan sendirian bahkan menyebut bahwa otaknya adalah otak babi. Saori terus memberondong pertanyaan kepada Minato, hingga sebuah fakta terungkap bahwa wali kelasnya di sekolah, Hori (Eita Nagayama) kerap melakukan perundungan secara fisik maupun verbal.
Tak terima dengan apa yang terjadi, Saori lantas mendatangi sekolah dan menuntut perlakuan sang guru di depan kepala sekolah, Fushimi (Yusho Tanaka) yang berujung pada sebuah kejadian yang tak memunculkan sebuah jawaban selain permintaan maaf. Hori pun layaknya guru biasa yang terlibat perselisihan dengan sang murid, yang hanya bisa pasrah ketika sekolah menuntutnya mengakui padahal sejatinya ia tak merasa melakukan hal yang dikeluhkan.
Dari sini, Monster kembali melempar persepsi, membagi narasi ke dalam tiga sudut pandang karakternya, mengalianasi kebiasaan masyarakat dewasa ini yang melakukan penghakiman tanpa ingin mencari sebuah kebenaran. Poin tersebut memang diterapkan dan turut dijadikan sebagai sebuah kritikan yang bisa saja menampar kebiasaan yang tanpa sadar sering kita lakukan.
Banyak yang mengaitkan bahwa Monster mempunyai kemiripan dengan karya Akira Kurosawa, Rashomon (1951) selain pendekatan filmnya yang turut menerapkan Rashomon effect dalam tuturannya menyibak sebuah kebenaran yang penuh dengan keabuan. Secara perlahan, Kore-eda memainkan tensinya dengan penuh kesubtilan, bukan sebatas ajang gaya-gaya-an demi menghasilkan sebuah kejutan (yang secara tak terduga banyak ditampilkan).
Timbul beberapa pertanyaan yang dapat memunculkan sebuah ketertarikan seiring sebuah fakta baru dilemparkan, dari sini proses memahami dan memperhatikan dikedepankan dalam rangka mencari sebuah jawaban terkait siapa monster sebenarnya? Apakah Saori yang sebatas kurang memahami sikap sang anak? Hori lewat senyum sinisnya pun mencurigakan. Ataukah bisa saja ini hanya akal bulus Minato yang memang seorang pembohong?
Selain mereka, hadir pula Yori (Hinata Hiiragi), teman sekelas Minato yang terbisa menerima perundungan dari kawan-kawannya turut memegang peranan penting bagi keseluruhan narasi yang kembali membuka isu lain, sebutlah konformitas. Dari sini, Monster kembali menampilkan dampak lain baik itu fisik maupun psikis, utamanya semuanya bersumber dari prasangka tanpa pernah memikirkan apa yang sebenarnya dirasa.
Monster pun dibekali para pemain yang tampil mumpuni, betapa tiap karakter mempunyai peranan masing-masing yang begitu krusial, seolah semuanya berada di sisi positif, termasuk dua pelakon ciliknya yang sudah piawai menghantarkan rasa lewat pengadeganan non-verbal yang melancarkan beberapa alegori yang sengaja ditebar oleh Kore-eda secara pintar.
Memasuki konklusi, sembari diiringi alunan sederhana berupa petikan piano dari komposer Ryuichi Sakamoto (sebagai karya terakhirnya, rest in peace, sir!) Kore-eda menghasilkan sebuah pertanyaan lain yang menyentil sebuah reinkarnasi lewat pola pikir bocah SD berusia 5 tahun. Kekhasan yang senantiasa melekat pada dirinya berupa tuntutan menjadi dewasa sebelum waktunya. Monster adalah sebuah melankolis yang mengharapkan sebuah plegmatis andai masyarakat mau membuka mata, menerima, serta mengenali apa yang seharusnya diketahui.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar