Hadir sebagai kelanjutan cerita dari trilogi Dilan, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 nyaris tak memberikan sebuah perbedaan-selain perubahan sudut pandang dari karakter berbeda. Selepas Milea: Suara dari Dilan (2020), kini giliran Ancika Mehrunisa Rabu (Zee JKT48) yang bercerita, gadis yang masih duduk di bangku SMA tahun ketiga ini rupanya nantinya yang akan mengisi hati seorang mantan "Panglima Tempur".
Semuanya berawal ketika Ancika mendatangi rumah sang kakek (Mathias Muchus) untuk memberikan kado ulang tahunnya, tampak Dilan (Arbani Yasiz), rekan sang paman, Anwar (Dito Damawan) tengah berkumpul. Bisa ditebak, perangai cuek dan keras Ancika ketika membela sang rekan membuat Dilan jatuh cinta.
Dari sinilah naskah buatan Benni Setiawan (turut merangkap sebagai sutradara, menggantikan Fajar Bustomi) bersama Tubagus Deddy (Baracas, Jendral Soedirman, Koboy Kampus) menyoroti tindak-tanduk Dilan mendapatkan hati Ancika yang tak segampang mendapatkan Milea. Ancika adalah gadis yang dingin akan cinta, pun motivasinya pun jelas, ia ingin berkuliah di UNPAD, inilah yang menjadikan karakternya lebih kaya. Demikian pun dengan Dilan, yang kini sudah berstatus sebagai Mahasiswa Seni Rupa di ITB.
Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 masih tontonan ringan khas remaja dalam narasinya, cerita pun nantinya turut menghadirkan pesaing Dilan dalam wujud Kang Yadit (Daffa Wardhana), pria mapan yang kenalannya adalah para wali kota. Dalam persentasinya, Benni Setiawan mampu menghadirkan sebuah romansa yang mampu menyulut rasa gemas, terlebih berkat kepiawaian chemistry antara Zee dan Arbani yang mampu menghidupkan karakter dalam nyawa yang berbeda, menjauhkan dinamika antara Dilan-Milea.
Seolah tak sepenuhnya lepas dari bayang-bayang, Dilan memang dikenal sebagai pria yang gemar melontarkan kata ajaib (baca: gombal) dalam perkataannya, yang dalam film ini hadir tepat guna. Beberapa diantaranya mampu dimaklumi yang tak sampai menghadirkan sebuah kesan berisik sebagaimana karakter sebelumnya.
Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 sempat menyinggung peristiwa politik seputar kejadian reformasi yang kehadirannya sebatas tempelan semata, karena pada dasarnya, narasi yang ditampilkan hanya sebatas pengingat latar waktu dan peristiwa sejarah. Inilah yang membuat babak keduanya tampil kurang menggigit, kala semua konflik terselesaikan dengan cara yang begitu mudah, tanpa adanya sebuah kedalaman maupun sedikit pemahaman.
Pun, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 kekurangan momen romansa yang seharusnya dapat diingat lama di ingatan. Konklusinya pun seolah penuh akan kesederhanan, tunggu selepas keputusan me-recast karakter penting dalam filmnya yang sedikit melukai pencapaian sebelumnya. Meskipun di rasa sangat kurang maksimal ketika menyertakan bahwa "Ancika adalah cinta terakhir untuk Dilan" setidaknya, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 menutup kisahnya dengan sebuah akhiran yang pantas.
SCORE : 3/5
0 Komentar