Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - SIJJIN (2023)

 

Berstatus sebagai remake resmi dari film horor laris asal Turki, Siccîn (2014) yang sudah melahirkan lima installement laris lainnya, Sijjin yang menandai film horor keenam Hadrah Daeng Ratu (sebelumnya adalah Perjanjian Gaib) adalah adaptasi setia yang nyaris tak memiliki sebuah modifikasi. Bukan sebuah keharusan memang, terpenting adalah bagaimana filmnya mampu memberikan nyawa tersendiri lewat elaborasi sebagaimana premis cukup menarik sekaligus sarat relevansi ini. Sijjin, sayangnya gagal dalam melakukan itu, terlebih ketiadaan urgensi menjadi salah satu penyebab kurang mulusnya film ini.

Sebagaimana materi aslinya, kita akan diajak untuk mengikuti lima hari penuh teror dari santet yang konon melibatkan jin bernama Anzar. Pengirim santetnya tak lain adalah Irma (Anggika Bolsteri), yang dikuasai hasrat untuk sepenuhnya memiliki Galang (Ibrahim Risyad), sepupunya sendiri. Galang sudah beristrikan Nisa (Niken Anjani) dan dikaruniai satu orang putri, Sofia (Messi Gusti) yang mengalami kebutaan.

Sedari awal, Sijjin sudah tancap gas dalam melakukan sebuah orientasi terhadap karakternya-yang berlalu secara singkat. Mudah untuk memahami motivasi Irma yang tampil sterotifikal sebagaimana karakter pelakor lainnya tampilkan. Riasan tebal, pakaian seksi hingga kegemaran untuk menggoda senantiasa melekat padanya. Terkesan dangkal memang, beruntung semuanya dapat tersampaikan secara natural berkat kepiawaian seorang Anggika Bolsterli yang menjadi juru selamat film ini.

Lain halnya dengan karakter Nisa yang terlihat lebih natural, tipikal istri yang mematuhi dan menghormati suami. Ketimbang memperdalam karakterisasi, kita hanya menyaksikan Nisa sebagai wanita pembuat kopi dan penurut terhadap suami (meski Galang sering membentaknya). Tiada urgensi lain untuk sekedar memberikan simpati atau mendukung karakter baiknya ini.

Ditulis naskahnya oleh Lele Laila, yang pasca menghadirkan sebuah revolusi di Ivanna (2022) dan meluangkan waktu bercerita di Primbon (2023), Sijjin bak mengembalikan semuanya ke titik nadir, ketika kegemarannya melempar jumpscare tanpa memperhatikan sebuah rules akhirnya dipakai kembali. Beberapa diantaranya cukup efektif, termasuk keberanian menebar pemandangan menjijikkan lewat tumpukkan jeroan yang digunakan-menjadi sambil lalu tatkala punch horror-nya sendiri tampil lemah. Pun, adegan pentingnya sudah dieksploitasi oleh materi promosi filmnya yang membuat filmnya terasa kurang spesial.

Menyusul selanjutnya adalah pengadeganan Hadrah Daeng Ratu yang kekurangan amunisi dan bergerak sebagaimana mestinya, ada sebuah keberanian untuk membawa filmnya ke ranah gore, meski keinginan tersebut luput karena sudah terlampau banya ditampilkan oleh horor yang rilis belakangan. Dari segi artistik pun, tak ada yang patut dibanggakan, karena sejatinya Sijjin tampil main aman sesuai pakem yang telah banyak dilakukan.

Setidaknya, Sijjin masih dibekali tata rias mumpuni yang menyelamatkan film ini dari horor berkualitas jongkok lainnya. Sangat disayangkan memang, guliran santet lima hari pun nihil sebuah kejelasan maupun progresi alur yang kentara stagnan. Sijjin memang tak sepenuhnya buruk, hanya saja kehadirannya cukup biasa setelah banyak gebrakan sebelumnya. Ketika filmnya ditutup oleh sebuah penggampangan berupa teks yang menjelaskan nasib karakter selanjutnya, dari sini kemalasan bertutur pula jualan yang konon diangkat dari kisah nyata layaknya sebuah film biopik-tak lagi berlaku pasca keseluruhan filmnya hanya sebatas guliran narasi tanpa arti.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar