Butuh 17 tahun bagi seorang Hanung Bramantyo untuk kembali menyutradarai film horor (sekaligus menandai film mandiri bagi rumah produksi miliknya, Dapur Films) setelah Lentera Merah (2006) dan Legenda Sundel Bolong (2007). Sebagaimana dua film horor terakhirnya, kegemaran Hanung masih tetap sama, menautkan kisah mistis dengan unsur politis yang memperkaya fimnya dengan muatan sejarah yang cukup kental.
Setidaknya, itu sudah tampil sedari kredit awal filmnya berupa tampilan potongan berita yang termuat di koran, menyoroti kejadian yang terjadi pada tahun 70-an di mana perubahan sekaligus pemangkasan jumlah partai sedang memanas, tak ayal beberapa sentuhan warna partai (Golkar, PDI, PPP) pun turut berseliweran eksis menghiasi layar. Semakin menakutkan tatakal keresahan masyarakat pun turut dimainkan.
Demikian pula yang dialami para pekerja di perkebunan teh warisan William Saunders (Willem Bevers) yang kini dikelola oleh anak semata wayangnya, Rara (Carmela van der Kruk) beserta suaminya, Sutan (Rangga Nattra) selepas berbulan madu dan kembali menempati rumah masa kecilnya. Kepulangan mereka disambut guyuran hujan, sekaligus fakta mengejutkan bahwa gagal panen baru saja terjadi.
Setali tiga uang dengan kejadian tersebut, Rara pun belakangan sering mengalami ketindihan dan melihat penampakan hantu berwujud kuyang yang membuat panik para penghuni rumah, termasuk Sutan yang berinisiatif memanggil teman masa SMA-nya yang merupakan orang pintar eksentrik, Yusof (Fattah Amin) guna menyelesaikan permasalahan.
Tentu, naskah buatan Hanung bersama Haqi Achmad (Sajen, Tabu: Mengusik Gerbang Iblis, Rasuk 2) tak sebatas menjadikan filmnya bak kantong kosong saja, terdapat alegori mengenai poliitik yang sukses dimainkan dan akan terasa relevan dewasa ini. Penggunaannya terasa tepat guna, karena Hanung bukanlah sutradara tanpa visi yang sekedar menampilkan adegan tanpa arti. Sebutlah kematian para pekerja yang bak manifestasi para korban, konflik utama seputar perebutan warisan mewakili para pemegang kekuasaan negara, pun kehadiran Yusof yang dicanangkan sebagai scene stealer pun mencerminkan sikap sekaligus nasib seseorang apabila hendak membuka sebuah kebenaran.
Semunya ditampilkan secara gamblang oleh Hanung, yang bahkan terasa penuh sesak dan sulit dicerna oleh penonton secara kebanyakan, karena pada dasarnya, Trinil: Kembalikan Tubuhku lupa memberikan sebuah petunjuk bagi penonton untuk terlibat secara langsung. Apakah Hanung enggan untuk menyuapi penonton? Percayalah, bentuk demikian bukan sebuah wujud kesalahan, kebolehan untuk memberikan jalan bukanlah sebuah hal yang haram hukumnya.
Mengenai urusan teror, Trinil: Kembalikan Tubuhku diperkuat oleh riasan CGI mumpuni, yang menyulap Wulan Guritno sebagai Ayu (versi remajanya diperankan oleh sang anak, Shalom Razade) terlihat menyeramkan di layar. Sayang, penggarapan Hanung dalam memainkan tempo sejatinya mengambil jalur aman, kala keseraman sang hantu sebatas dijadikan ajang setor muka dan memfasilitasi straight-forward horor yang sering lalu lalang setiap minggu.
Memasuki konklusi, Trinil: Kembalikan Tubuhku bak kekurangan daya pikat tatkala penulisnya kebingungan untuk memberikan sebuah pengisahan pasca sebuah twist dilemparkan. Keseramannya pun kian memudar, seiring filmnya yang kembali ke formula usang yang bukan sebuah masalah besar. Permasalahan utama Trinil: Kembalikan Tubuhku ialah perihal tujuannya sebagai film horor gagal tampil menyeramkan sebagaimana naskahnya yang kaya akan muatan.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar