Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - FIVE NIGHTS AT FREDDY'S (2023)

 

Berangkat dari gim horror populer yang dirilis pada 2014 silam, Five Night's at Freddy's mungkin akan menjadi sebuah fan service bagi gim yang sukses menelurkan sembilan video gim buatan Scott Cawthon (juga turut menulis naskahnya bersama Seth Cuddeback). Digawangi oleh Emma Tammi (The Wind, Into the Dark) hasil adaptasi ini mungkin mengamini hal tadi, tetapi gagal untuk merangkul khalayak umum.

Ada keinginan untuk menambahkan bobot dari sebuah gim yang memposisikan pemain sebagai seorang penjaga wahana anak-anak sekaligus restoran ini, tetapi semuanya gagal tersaji akibat kurangnya amunisi bagi narasi yang sebatas menempatkan ketimbang memberikan kejelasan mengenai sebab-akibat hingga aturan mainnya sendiri. Alhasil, Five Nights at Freddy's mungkin tak se-memorable gimnya, secara sebuah kesatuan film yang utuh gagal terpenuhi.

Demi mempertahankan hak asuh sang adik, Abby (Piper Rubio) dari tangan sang bibi, Jane (Mary Stuart Masterson) yang ingin memanfaatkan tunjangan, Mike (Josh Hutcherson) yang selalu bermasalah dalam pekerjaan, akhirnya memenuhi permintaan sang atasan, Steve Raglan (Matthew Lillard) untuk menjaga Freddy's Fazbear Pizza, sebuah wahana bermain sekaligus restoran cepat saji yang sudah terbengkalai mengingat reputasinya kini, disamping fakta yang mengatakan bahwa banyak anak kecil hilang di saat yang bersamaan.

Selain faktor finansial, mudah untuk memahami bahwa Mike pun selalu dihantui oleh kesalahannya yang telah lalai menjaga adiknya yang sudah lama hilang. Ia tenggelam akan sebuah trauma dan mengkonsumsi pil tidur sebagai penenang sembari membayangkan ia berada di hutan Nebraska lewat sebuah poster yang sengaja ditempelkan di atap kamarnya. Mengenai hal ini, seperti yang telah saya singgung tadi, Five Nights at Freddy's hanya menjadikannya sebagai sebuah tempelan nihil urgensi selain untuk memunculkan sebuah narasi yang gagal terpenuhi.

Ketakutan dan trauma Mike direpetisi, namun sukar untuk terikat dengannya secara emosi. Kurangnya sense of urgency menyulitkan kita untuk memberikan hati, yang ada hanyalah sebuah kebingungan mengingat terlampau banyaknya repetisi akan hal ini. Seiring hal ini terjadi, daya hiburnya pun seketika memudar.

Kita tahu nantinya, selama lima hari Mike menjaga Freddy's Fazbear Pizza, akan dihandapkan pada sebuah situasi yang pelik di mana para animatronik akan mulai hidup dan memangsa siapa saja yang mengusiknya. Hal yang diharapkan ini jauh dari kata memuaskan, sebagaimana paruh awalnya tampilkan, Five Night's at Freddy's terlampau jinak untuk ukuran sebuah film yang menjual rating PG-13.

Memang, harus diakui bahwa filmnya setia akan sumber materi aslinya dengan segala pernak-pernik yang mendukung. Hal tersebut menjadi sia-sia jika semuanya kekurangan daya dan nihilnya sebuah usaha untuk membuatnya terasa lebih segar. Pun, ketika karakter seorang polisi wanita bernama Vanessa (Elizabeth Lail) mulai diperkenalkan, filmnya masih tak beranjak dari sebuah kebingungan.

Bagi saya yang belum memainkan gim aslinya dan datang hanya untuk menyaksikan kengerian teror dari boneka yang dirasuki roh, Five Nights at Freddy's memunculkan sebuah kekecewaan yang cukup besar tatkala selain narasi yang main terlalu aman (juga penuh kekurangan) fiilmnya gagal menampilkan sebuah kengerian maupun ketakutan, pun tatkala Tammi menambahkan jumpscare pun, daya pikatnya tak seberapa besar.

Formulaik. Demikian adalah kata singkat yang mewakili keseluruhan Five Nights at Freddy's. Pun, tatkala sebuah plot twist ditampilkan, tajinya kurang tersampaikan. Tak perlu membutuhkan menyaksikan banyak film horror untuk menebak keseluruhan apa yang terjadi, karena Five Nights at Freddy's adalah satu dari sekian horor murahan yang eksis tanpa memikirkan bobot dari beragam lini. Willy's Wonderland (2021) jelas jauh lebih baik daripada ini.

SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar