Indigo menandai kembalinya Rocky Soraya setelah terakhir menyutradarai The Doll 3 setahun yang lalu. Sebagaimana kegemarannya membuat sajian horor yang terlihat mewah, teaser yang ditampilkan sebelum dimulainya Suzzanna Malam Jumat Kliwon pun masih terlihat megah sebagaimana produksi Hitmaker pada umumnya. Meski dalam urusan cerita, Indigo tak ada ubahnya dengan Mata Batin (2017) yang pernah ia sutradarai sekaligus naskahnya ditulis oleh Riheam Juninanti.
Duo itu kembali lagi, bukan dengan meneruskan cerita Mata Batin (yang di film kedua hanya berhasil mengumpulkan setengah jumlah penonton film pertamanya) melainkan dengan membuat sajian serupa hanya dengan menggantikan judul beserta pernak-pernik lainnya. Jika Alia (Jessica Mila) membuka mata batin untuk menyelamatkan sang adik, Abel (Bianca Hello), premis serupa dialami Zora (Amanda Manopo) yang sedari kecil sudah indigo, memutuskan untuk membuka kembali kemampuannya untuk melindungi sang adik, Ninda (Nicole Rossi) dari teror hantu wanita hamil bernama Widuri.
Layaknya Mata Batin juga, butuh waktu lama bagi Zora yang kini merupakan seorang seniman dan tengah menanti hari pernikahannya bersama Aksa (Aliando Syarief) untuk mempercayai kemampuan milik adiknya selepas Bu Sekar (Sara Wijayanto) memaparkan penjelasan. Praktis, dari sini Indigo menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar menampilkan skeptisme Zora yang lewat satu adegan akhirnya mengetahui fakta yang sebenarnya.
Sedari awal filmnya dibuka, Indigo sudah memamerkan tata kamera berputar maupun masuk dan melingkar sebagaimana kegemaran Rocky Soraya dalam menciptakan sebuah gambar-meski mengenai substansinya patut ditanyakan. Singkatnya, Rocky Soraya amat memuja dan mengandalkan style-over-substance demi menutup segala kelemahan supaya terlihat menjanjikan.
Selanjutnya, ia kembali dengan director-signature miliknya yang selalu menampilkan efek kaca pecah pada salah satu sekuen yang kini sudah terang-terangan dipamerkan. Entah itu tersurat dari poster, trailer, hingga beberapa momen yang menampilkan serangan sekaligus teror dari hantu Widuri yang diberkati tata rias mumpuni. Meski sangat disayangkan, keseraman itu dijadikan Rocky sebagai alat untuk mengisi deretan jumpscare medioker, beruntung musik berisik tak ikut masuk mengiringi.
Indigo adalah usaha Rocky-Riheam menuturkan sebuah cerita baru dengan ekskalasi menjanjikan yang persentasinya terinspirasi dari salah satu ancaman yang akan terjadi. Alih-alih berhasil, ide tersebut bak tampak hanya dipermukaan saja tanpa dibarengi oleh narasi yang lebih baik. Paling kentara adalah penggunaan dialog yang mengharuskan karakternya berbicara secepat kilat atau beberapa keputusan diluar nalar yang menodai logika sehingga menciptakan sebuah cacat bagi twist yang meski kali ini tak menyudutkan pihak laki-laki-memilih untuk sekali lagi berkutat pada premis formulaik yang entah sudah berapa banyak dieksploitasi.
Barulah menjelang babak ketiga Indigo tampil menggila dengan menambahkan kadar kekerasan berupa gore yang sekali lagi adalah kegemaran dan ciri khas sang sutradara. Namun persentasinya kali ini sedikit terasa jinak ketimbang karya beliau sebelumnya, karena pada dasarnya, menurut penulis dan sang sutradara, Indigo adalah representasi dari sebuah peradaban baru, yang kalimatnya terus direpetisi oleh barisan dialognya yang seolah kekurangan amunisi.
SCORE : 2/5
0 Komentar