Di Ambang Kematian menjadi bukti bahwa sebuah film yang berasal dari utas maupun thread viral mampu menghasilkan sebuah tontonan yang mumpuni andai digarap dengan sepenuh hati. Merupakan adapatsi utas populer dari akun twitter JeroPint, para pembuatnya sadar dalam menampilkan sebuah eksploitasi sekaligus eksplorasi untuk filmnya lewat modifikasi sederhana yang nyaris tak ada sebuah pembaharuan signifikan. Isu perihal pesugihan kembali diterapkan, yang kali ini berada di jalur yang lebih personal.
Nadia (Taskya Namya) harus menelan pil pahit tatkala mengetahui bahwa sang ayah, Pak Suyatno (Teuku Rifnu Wikana) melakukan praktik pesugihan kandang bubrah, yang mengharuskan para pemujanya memberikan tumbal berupa kepala kambing dan merenovasi rumah tanpa henti. Dimulai dari kematian sang ibu (Kinaryosih) yang tewas secara mengenaskan ketika perayaan tahun baru berlangsung, Nadia dan sang kakak, Yoga (Wafda Saifan Lubis) harus mencari jalan keluar ketika sang iblis kali ini tak main-main dalam meminta sesembahan.
Ditulis naskahnya oleh Erwanto Alpadhullah (dwilogi Mangkujiwo), Di Ambang Kematian setia akan sumber materi aslinya yang sudah memberikan cerita mengerikan mengenai kondisi, keadaan hingga tragisnya nyawa korban yang menjadi incaran makhluk berwujud kambing, berbekal hal itu alih wahananya bak sebuah perwujudan yang akan dinikmati dengan senang hati oleh para penggemar horor, terlebih ketika kadar kekerasan ditekankan.
Bersama Azhar Kinoi Lubis (Kafir, Mangkujiwo, Ikut Aku ke Neraka), Di Ambang Kematian pun tak sekedar menjadikan penampakan maupun kadar kekerasan sebagai julan, terdapat narasi yang menjadi tulang punggung dari segala rentang tahun yang melompat (khususnya setiap sepuluh tahun sekali) sebagai upaya bagi karakternya terbebas dari segala kutukan demi menyelamatkan kehidupan pula orang tersayang.
Ya, Di Ambang Kematian lebih personal tatakal memposisikan karakternya sebagai orang yang penuh akan penyesalan dan dituntut menghadapi keadaan. Ketika film horor arus utama sibuk mengartikan hal itu dengan kompilasi teror dan urung menggali sisi psikis karakternya, film ini jelas berdiri lebih depan sekaligus memberikan sebuah pemahaman yang krusial akan formula maupun pakem yang telah diterapkan.
Taskya Namya yang dalam peran utama pertama miliknya semakin memantapkan bahwa dirinya merupakan aktris dengan masa depan cerah sekaligus scream queen yang mampu menafsirkan sebuah teriakan sebagai manifestasi ketakutan sebenarnya. Teuku Rifnu Wikana pun memberikan alasan mengapa sosok yang penuh dengan kesalahan yang tak bisa dibenarkan ini setidaknya diberikan sebuah harapan dan kesempatan, demikian pula dengan Wafda Saifan Lubis yang mengartikan sikap dingin dan diamnya sebagai aksi penolakan secara halus.
Bukan tanpa kekurangan, Di Ambang Kematian memang memiliki salah satu jumpscare menakutkan yang pernah dibuat, namun tatkala kadar tersebut ditekan sesering mungkin, menciptakan sebuah repetisi yang nyaris tak memiliki taji selain alasan untuk menutupi kurangnya amunisi. Pun, ketika filmnya menampilkan sebuah adegan malam hari dengan kondisi lampu mati, sulit untuk mencerna apa yang terjadi ketika kontras pencahahayaan filmnya terlampau gelap.
Konklusinya adalah salah satu keputusan yang terbaik. Di Ambang Kematian tak mengandalkan twist sebagai jalan mengakhiri cerita, melainkan menampilkan sebuah keadaan sebenarnya ketika segala upaya telah dikerahkan sekuat tenaga menjadi percuma tatkala takdir telah bercerita. Digawangi performa olah rasa dari Taskya Namya lewat adegan yang sangat sederhana tetapi mempunyai makna kaya rasa. Dari sini, Di Ambang Kematian tak hanya sekedar mengumbar kekerasan sebagai aksi eksploitasi, melainkan sebuah kontemplasi.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar