Pencarian jati diri, konformitas hingga keberbedaan yang menuntut sebuah keseragaman merupakan beberapa elemen yang terdapat dalam It Lives Inside. Sebuah potret keluarga imigran asal India yang mencoba mengejar American habits demi dianggap sejajar, meski sulit untuk mengenyahkan bahwa budaya tanah air telah mengakar. Setidaknya itu yang dilakukan oleh protagonis utama kita, Samidha (Megan Suri) yang hanya ingin dipanggil Sam dan menjawab perkataan sang ibu, Poorna (Neeru Bajwa) dengan bahasa Inggris setelah peraturan menggunakan bahas ibu wajib ditetapkan di rumah. Itulah mengapa hubungan keduanya amat renggang, bertolak belakang dengan sang ayah, Inesh (Vik Sahay) yang lebih terbuka.
Di sekolah pun, Samidha melakukan hal yang sama. Ia menolak untuk berteman dengan Tamira (Mohana Krishnan) hanya untuk bergabung dengan mereka yang berkulit putih. Terlebih, Tamira belakangan bersifat aneh dengan selalu membawa sebuah toples yang konon berisikan makhluk pemakan daging. Hingga tatkala Tamira meminta bantuan kepada Sam untuk mempercayainya, Sam malah memecahkan toples tersebut dan secara tak sengaja melepaskan entitas jahat bernama Pishach.
Pishach sendiri merupakan makhluk atau iblis asal mitologi Hindhu yang konon memakan daging dan menyerap energi inangnya yang memiliki perasaan buruk dengan energi negatif. Sebuah premis menarik yang dapat membawa filmnya ke ranah psychological-horror layaknya The Babadook (2014). Alih-alih menampilkan hal itu, sutradara debutan Bishal Dutta justru terjebak pada sebuah pola medioker dalam sampul elevated horror. Kehadiran Pishach hanya sebatas dijadikan alat penghantar jumpscare yang dengan mudah terprediksi.
Keengganan untuk memberikan narasi yang mumpuni menghalangi It Lives Inside berkembang sebagaimana premisnya yang menjanjikan. Terlebih, mengenai rules makhluknya itu sendiri yang menyisakan setumpuk tanya. Jika Pisach mengejar dan mengincar orang yang memiliki perasaan buruk, lantas mengapa ia membunuh rekan sekaligus love interest Samidha secara langsung? Sungguh berlawan dengan apa yang menimpa pada salah satu protagonis utama filmnya.
Ditulis naskahnya oleh sang sutradara bersama Ashish Mehta, It Lives Inside berpotensi melahirkan tontonan sarat akan kultur budaya. Aspek tersebut kian terpinggirkan seiring filmnya sibuk melahirkan repetisi menjemukan. Sebutlah sebuah dream sequence yang nihil urgensi selain sebatas pernak-pernik semata.
Pun, demikian dengan konklusinya, yang andai ditelisi di lini yang berbeda akan menghadirkan sebuah hook yang sangat relevan dengan realita. It Lives Inside sayangnya ditutup dengan sangat medioker, sebatas mengandalkan sebuah deus-ex-machina di saat filmnya menyimpan setumpuk kemungkinan untuk bercerita.
SCORE : 2/5
0 Komentar