Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - SATU HARI DENGAN IBU (2023)

 

Berstatus sebagai film time loop kedua setelah Sabar ini Ujian (2020) di Indonesia, Satu Hari dengan Ibu berpotensi mengulang hal serupa predesesornya apabila tak dibarengi dengan tendensi dakwah islami bertubi-tubi. Mengingat film adalah sebuah bahasa teknis tersendiri yang mengedepankan kreativitas tanpa batas, Satu Hari dengan Ibu bak tak memedulikan hal itu, seolah mundur terbelakang hanya untuk menyampaikan pidato di depan mimbar yang digantikan dengan studio bioskop.

Sepeninggal sang ayah, Dewa (Chand Kelvin) mendadak berubah sikap. Ia sempat mengurung diri seminggu di kamar bahkan tak ingin pergi salat berjamaah di mesjid karena alasan akan mengingatkannya dengan mendiang ayahnya yang begitu dekat dengannya. Berangkat dari itu, sikapnya dengan sang ibu (Vonny Anggraini) pun jauh dari kata halus. Ia sering membangkang dan tak mengindahkan perkataan seseorang yang harusnya jadi panutan.

Hingga Dewa harus terjebak pada sebuah lingkaran waktu di mana ia mendapati ibunya meninggal. Semuanya bermula dari perkataan untuk membangunkan salat subuh hingga kematian ibu yang terpeleset di kamar mandi. Pola berulang yang semakin menyesakkan sekaligus membuat kehidupan Dewa semakin berantakkan akan penyesalan.

Esensi utama dari konsep time loop adalah memberikan sebuah kesempatan untuk memperbaiki hubungan disertai dengan kebaikan. Pada poin tersebut Satu Hari dengan Ibu sadar akan tujuan utamanya, meski setelahnya konsep tersebut hanya berakhir sebagai konsep belaka tanpa dibarengi akan kerapian bercerita. Adegan time loop kedua membuktikan kebenarannya ketika para penulisnya kebingungan dan sebatas melakukan konsep pengulangan tanpa aturan.

Pada paruh tersebut karakternya menanyakan dan mulai merasakan de javu yang diucapkan berulang-ulang. Seolah buru-buru, penekanan akan perasaan sejatinya kurang diperhatikkan. Bagaimana Dewa bisa merasakan de javu selepas ia hanya merasakan sekali? Sekali lagi, Satu Hari dengan Ibu kekurangan pemahaman yang kemudian menciptakan sebuah cela selanjutnya.

Untuk menghindari repetisi, sutradara M. Amrul Ummami beserta M. Ali Ghifari (selaku penulis naskah) menambahkan unsur komedi situasi hanya untuk melibatkan para bintang tamu mengambil peran, sebutlah Irfan Govinda, yang seiring durasi pula lingkaran waktu berjalan tak memberikan dampak yang signifikan selain sebatas menambah guliran durasi.

Selain Chand Kelvin dan Vonny Anggraini, karakter lain hanya sebatas tampil sambil lalu, termasuk Putri (Vebby Palwinta), love-interest Dewa yang tak diberikan karakterisasi memadai hanya untuk menambah unsur romansa dengan aturan islami. Pun, sebagai tameng utama, Chand Kelvin yang dituntut untuk menghantarkan guliran emosi sebatas menafsirkan kesedihan dengan tangisan yang sekencang-kencangnya dan marah dengan nada yang tinggi. Sepanjang durasi, momen itu semakin berlipat ganda, semakin pula jenuh dibuatnya.

Beruntung, Satu Hari dengan Ibu masih mempunyai Vonny Anggraini yang menghidupkan karkter seorang ibu dengan semestinya, pula Muzakki Ramdhan yang jauh lebih proper ketimbang para pemeran seniornya. Selebihnya, tak ada yang perlu dibanggakan termasuk scoring miliknya yang berisik tanpa adanya ketentuan akan peraturan.

Konklusi seharusnya jadi urgensi yang paling utama. Dari sinilah celah terbesar Satu Hari dengan Ibu yang seolah tak percaya diri dengan penonton untuk menangkap materinya. Ditampilkanlah ceramah menggurui yang melukai keseluruhan filmnya secara tersurat dan terang-terangan. Memang, Satu Hari dengan Ibu menyoal pesan moral soal kebaikan, tetapi ini adalah film bukan orasi untuk menyampaikan persepsi. Sejatinya inovasi dan eksplorasi yang seharusnya dibutuhkan oleh film ini.

SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar