Di atas kertas, Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul memberikan sebuah kesegaran ketimbang judul horor lokal belakangan yang tiap minggu rilis. Diangkat dari buku sekaligus pengalaman Hari Kurniawan a.ka Om Hao, filmnya sendiri merupakan versi fiktif layaknya seri Danur Universe yang hanya mengambil poin inti saja, sementara ceritanya merupakan adaptasi bebas sepenuhnya. Deva Mahenra memerankan Hao, meskipun ini tak ada kaitannya dengan series yang pernah ia bintangi sebelumnya, Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019).
Sejak kecil, Hao sudah diperkenalkan oleh sang eyang dengan kemampuan retrokognisi lewat sebuah perantara yang disebut katalis. Tak perlu bingung akan hal tersebut, karena duo penulis naskah Agasyah Karim dan Khalid Kashogi (Sunyi, Sewu Dino, Waktu Maghrib) memberikan kejelasan sederhana yang dapat dipahami oleh penonton. Inilah salah satu keunggulan filmnya, meluangkan waktu untuk membentuk narasi.
Hao bersama sahabat masa kecilnya, Rida (Della Dartyan) sering mengadakan seminar keliling Yogyakarta, memberikan pemahaman kepada khalayak akan bakatnya. Hingga pada sebuah acara, seorang suami-istri meminta bantuan Hao untuk menemukan puterinya, Sari (Nayla D. Purnama) yang sudah dua hari menghilang selepas mengerjakan tugas menjahit di sekolahnya.
Dalam misi pertamanya, Hao kemudian bersinggungan dengan entitas jahat bernama Walisdi (Iwa K) dukun ilmu hitam yang menggunakan ilmu banaspati, yang lewat pengorbanannya menjelma sebagai pocong gundul.
Lupakan bentuk umum pocong pada umumnya, Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul memamerkan bentuk lain dari pocong tanpa penutup kepala dengan kemampuan yang tak kalah mengancam. Awi Suryadi (trilogi Danur, KKN di Desa Penari, Badoet) selaku sutradara mampu menyebar ketegangan lewat tingkah pocong tanpa harus membuatnya melompat-lompat. Sesekali ia tampilkan bentuk lain dalam wujud melayang, menghancurkan atap mobil, menggedor pintu hingga mengeluarkan cairan berupa ludah yang dapat membuat wajah seseorang hancur seketika.
Benar, ketimbang pemahaman konvensional, pendekatan Awi Suryadi lebih dekat kepada creature horror lengkap dengan tampilan wajah pocong yang remuk hingga bertaring layaknya monster. Keberdaannya jelas agresif dalam menebar teror yang aktif, jarinya pun dapat menyerap energi manusia yang hendak diserapnya.
Ketika teror absen di layar, Awi pun menggunakan kreativitasnya dengan mengulangi pola sederhana yang masih berkaitan dengan kisahnya, sebutlah momen yang melibatkan kain kafan dalam pengemasan yang terlihat lebih mahal (jangan lupakan penggunan tata kamera terbalik yang merupakan kegemarannya).
Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul mudah untuk bertengger pada jajaran film horor lokal terbaik jika menjelang konklusi ia tak kerepotan dalam menutup kisahnya yang seolah sudah diperas habis-habisan. Bukan sepenuhnya buruk, Awi mampu menjaga intensitas filmnya agar tetap terjaga, entah itu lewat keberanian tampil di ranah gritty atau menebar keseraman lewat pemandangan ritual dengan iringan mantra Jawa kuno yang meyakinkan. Saya yakin, ketika mendengarnya bulu kuduk tak kuasa untuk berdiri.
Seperti kebanyakan film horor pada umumnya yang kesulitan dan terkendala dalam menutup narasi, Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul pun demikian. Setumpuk pertanyaan tak terjawab akan meninggalkan cacat logika. Misalnya mengenai keputusan Walisdi yang ingin memperoleh keinginannya-nyaris percuma apabila ia harus mati dan menebar teror setiap sepuluh tahun sekali. Jika kekuatan utamanya terdapat pada tali pocong yang tertutup, mengapa penutup kepalanya terbuka? Tak ada aturan pasti maupun jelas, demikian pula ketika kita mengetahui keberadaan Sari yang menurut pihak sekolah sudah diselidiki sekelilingnya. Setidaknya, performa Della Dartyan mampu mengobati kekecewaan tatkala kehadirannya sebagai sidekick mampu mencairkan suasana lewat mulut tanpa saring miliknya.
SCORE : 3/5
0 Komentar