Tiga tahun lalu, Aku Tahu Kapan Kamu Mati (2020) memberikan sedikit kesegaran dalam menampilkan horror teenlit dengan unsur komedi yang disokong oleh Ria Ricis. Kualitasnya mungkin tak seberapa baik, namun terpenting, unsur persahabatan didalamnya mampu terjalin rapi dan mengundang secercah simpati. Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri mengambil pola yang berbeda, sebuah evolusi tinggi dibandingkan pencapaian film sebelumnya. Pun kegamangan seorang remaja digantikan dengan orang dewasa fase awal yang turut dibantu nama-nama senior yang turut mengambil peran.
Mengambil latar lima tahun pasca film sebelumnya, Siena (Natasha Wilona) kini tengah duduk di bangku kuliah. Jika sebelumnya ia terganggu dengan penglihatannya yang dapat mendeteksi kapan kematian seseorang akan terjadi, kini justru sebaliknya. Kegamangan di dapat tatkala ia sudah tak bisa lagi melihat tanda-tanda kematian seseorang, terlebih kala seorang pria melakukan aksi bunuh diri dengan melompat di gedung kampusnya.
Merasa butuh uluran tangan, Siena pun kerap melakukan konseling dengan Naya (Acha Septriasa), dosen sekaligus psikolog kampusnya. Di hari berikutnya Naya tiba-tiba melakukan cuti demi mengantar jasad pria yang melakukan bunuh diri, Siena dihantui mimpi buruk akan keselamatan Naya yang terancam di Desa Remetuk, kampung halaman Naya yang memaksa Siena bersama dua sahabatnya, Windy (Marsha Aruan) dan Rio (Giulio Parengkuan) melakukan perjalanan penuh bahaya akan misteri desa tersebut.
Jika menilik pada akhir film pertamanya yang menunjukkan Siena sudah berdamai dengan kemampuan yang dimilikinya, Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri seolah mengkhianati konklusi. Dari sini, tujuan mengeruk pundi finansial dilakukan semata hanya untuk menawarkan sebuah penceritaan yang kurang maksimal. Terlebih soal aturan main dari kutukan desa yang sebatas pernak-pernik sambil lalu semata.
Memasuki Desa Remetuk, jelas ancaman dan bahaya akan mengancam para karakternya. Dari sini naskah buatan Lele Laila (KKN di Desa Penari, trilogi Danur, Ivanna) bersama sang sutradara Anggy Umbara (Khanzab, Satu Suro, Jin & Jun) bermodalkan melempar jumpscare dengan scoring seberisik mungkin (termasuk dalam false alarm tertentu) lengkap dengan tambahan hantu berbentuk orang-orangan sawah yang harus diakui tampil beda dalam riasan yang meyakinkan.
Sungguh sebuah penyakit lama yang kemudian menjangkiti barisan karakternya, salah satunya ialah menyia-nyiakan bakat Ratu Felisha sebagai Laras, teman masa kecil Naya yang seolah dirahasiakan agar terlihat misterius, namun seiring berjalannya durasi bak sebuah gimmick semata agar filmnya penuh akan sebuah tanda tanya.
Setidaknya, di paruh awal pertama Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri mampu bercerita secara runut, mengundang sebuah keingintahuan akan kutukan desa yang terlihat mematikan. Sayang, selanjutnya filmnya bak melakukan tindakan bunuh diri dalam narasi yang seolah kekurangan materi. Dampak signifikannya hadir pada konklusi filmnya yang seolah bertindak semaunya, menerobos aturan main dengan menerapkan sebuah simplifikasi yang tak seharusnya diterapkan oleh film ini.
Paruh akhirnya diselesaikan lewat cara yang terkesan sederhana, bodoh dan kacau. Ketika sebuah film horror mengandalkan pola andalan berupa kemampuan melihat kejadian sebagai jalan penyelesaian, meninggalkan setumpuk pertanyaan menganga sembari (kembali) mengkhianati nalar karakter utamanya. Seumpama bahasa psikoanalis perihal thanatos yang sebatas diartikan sebagai intuisi atau dorongan bunuh diri, Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri tenggelam akan egonya yang tak terkendali dalam suguhan horor ceroboh sekaligus bodoh.
SCORE : 2/5
0 Komentar