Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - AIR MATA DI UJUNG SAJADAH (2023)

 

Mudah untuk menyebut Air Mata di Ujung Sajadah sebagai suguhan berkelas FTV maupun sinetron. Premis sederhana khas suguhan rakyat tersebut memang sulit untuk dihindarkan. Walaupun demikian, secercah harapan kemudian muncul tatkala filmnya menjauh dari pakem film religi di mana ceramah soal siapa yang benar dan siapa yang salah dieliminasi. Sebagai gantinya, cheap thrills tersebut memberikan sebuah kontuniti yang nyaman untuk diikuti. 

Kembalinya Aqilla (Titi Kamal) selepas tujuh tahun dari London untuk menemui sang ibu, Halimah (Tutie Kirana) yang tengah sakit keras membawa sebuah fakta bahwa anak semata wayangnya bersama Arfan (Krisjiana Baharudin) ternyata masih hidup. Aqilla yang rindu dengan buah hatinya lantas menemui dan hendak mengambil haknya kembali. Namun, sang anak yang diketahui bernama Baskara (Faqih Alaydrus) kini tinggal dan dibesarkan oleh sepasang suami-istri bahagia, Yumna (Citra Kirana) dan Arif (Fedi Nuril).

Ditulis naskahnya oleh Titien Wattimena (trilogi Dilan, Noktah Merah Perkawinan, Aruna & Lidahnya) berdasarkan cerita dari Ronny Irawan melemparkan pertanyaan siapa yang lebih berhak memiliki Baskara, ibu biologis yang mewarisi darah dan dagingnya atau ibu yang membesarkan dan merawatnya dengan penuh cinta, keringat dan air mata? Air Mata di Ujung Sajadah memberikan pemahaman berimbang sekaligus sepadan, tatkala kedua peran tersebut dimainkan secara berimbang, entah itu lewat dialognya maupun prinsip show, don't tell yang sempat beberapa kali dimainkan secara minimalis.

Paruh pertamanya mungkin sedikit terbata-bata tatkala Titien seolah memadatkan penceritaan dengan pola straight-to-the-point yang sempat melucuti motivasi salah satu karakternya yang sebatas membuat salah satu karakternya satu dimensi tanpa repot-repot dijabarkan kausalitasnya. Entah ini perihal durasi maupun keengganan memberikan penceritaan yang bercabang maupun melebar, keputusan ini mampu dipahami.

Barulah menjelang pertengahan Air Mata di Ujung Sajadah mulai menemui pijakan. Beberapa momen sederhana semisal pentas seni Baskara hingga perdebatan di ruang tamu mampu tampil memikat meski beberapa diantaranya urung mengikat. Sutradara Key Mangunsong (Untuk Rena, Kamulah Satu-Satunya, Rectoverso) setidaknya mampu menjaga ritme filmnya lewat kapasitasnya mengarahkan momen dramatik yang cukup menyita perhatian.

Memasuki paruh ketiga, Air Mata di Ujung Sajadah sempat keteteran dalam menutupi kisahnya yang untungnya terselamatkan oleh sebuah sekuen yang saya yakin akan mengundang air mata, terlebih lewat kepiawaian akting Faqih Alaydrus yang mampu mencabik-cabik perasaan ketika dialog sederhana dalam bungkus anak seusianya dipaksa menerima kenyataan yang sebenarnya.

Konklusinya memilih jalur yang tepat, menguatkan Air Mata di Ujung Sajadah yang mampu memberikan pemahaman mengenai ikhlas tanpa batas dan sabar tanpa tepi. Sudah seharusnya film religi kita seperti ini, tak ada ceramah menggurui maupun isu seputar poligami.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar