Kukira Kau Rumah (2021) menjadi debut penyutradaraan pertama seorang Umay Shahab, yang pada waktu itu belum genap berkepala dua. Mengangkat isu penting mengenai kesehatan mental yang sering disepelekan, dalam kacamata rangkaiannya, debutnya tampil mencerahkan lewat pembawaan yang tak salah kaprah, setidaknya itu terbukti dalam sudut pandang ilmu psikologi. Memang jauh dari kesan sempurna (terlebih konklusinya yang terasa mengkhianati persentasi), namun kehadirannya patut diapresiasi. Dua tahun berselang, bocah yang sudah memasuki usia dewasa itu pun kembali, kali ini memainkan isu seputar merayakan kehilangan yang sangat begitu dekat sekaligus personal.
Dita (Prilly Latuconsina), seorang desain grafis yang selalu menenteng tas bergambarkan lambang Mandala mendapati bahwa iPad miliknya harus diperbaiki. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan Ed (Bryan Domani), pria yang secara tak sengaja menggiringnya ke tempat servis langganannya. Pertemuan keduanya lantas memberikan warna baru bagi kehidupan Dita, sejenak melupakan bahwa ia adalah sosok yang rapuh yang belum mengikhlaskan kematian sang ayah (Indra Brasco).
Empat tahun mereka bersama, dan Dita merasa bahwa hubungannya begitu saja, seolah berjalan ditempat tanpa adanya kejelasan. Pertengkaran pun sulit tuk dihindarkan-yang justru menjadi akhir dari segalanya selepas Ed meninggal dalam sebuah kecelakaan. Untuk kedua kalinya, Dita harus merasakan kehilangan.
Dita mungkin tak sebaik ibunya (Cut Mini) dalam menanggapi kehilangan. Itulah mengapa hubungannya begitu renggang, pun kehadiran tiga sahabatnya: Untari (Lutesha), Awan (Sal Priadi) dan Ifan (Refal Hady) masih belum bisa menyembuhkannya dari kenyataan. Terlebih untuk Ifan, ia begitu memendam perasaan sedari lama dengan Dita.
Dalam masa terpukulnya, Dita dihadiahi sebuah kacamata putih yang ternyata dapat menghidupkan kembali Ed dalam sebuah sistem kecerdasan buatan (baca: AI) meskipun dalam bentuk hologram. Kehidupan Dita perlahan mulai membaik, meski pada kenyataannya semuanya tak akan berjalan lama sebagaimana mestinya.
Dibantu oleh sokongan naskah dari Alim Sudio, Umay si penulis naskah dan Umay si sutradara menampilkan sebuah korelasi mumpuni dalam rangka mengembangkan sebuah narasi sarat relevansi. Tak bisa dipungkiri memang, kecanggihan teknologi yang kian berevolusi memang suatu hal yang harus diterima keberadaannya. Lewat ini pula, Umay menyampaikan pesannya sebagai ajang untuk merayakan sekaligus mengikhlaskan apa yang seharusnya terjadi.
Persentasinya jelas lebih baik dari karya sebelumnya, meski tak berarti sepenuhnya sempurna. Paruh awalnya cukup terbata-bata dalam melakukan proses introduksi-yang untungnya dapat diatasi. Ketika Berhenti di Sini kemudian berevolusi dalam menghadirkan sebuah inspirasi para pembuatnya, entah itu dalam bentuk karya idamanya (seperti Eternal Sunshine of the Spotless Mind) atau lagu yang senantiasa memberikan nyawa lewat penggunaannya.
Memasuki pertengahan, filmnya sempat goyah ketika Umay gemar berlarut-larut dalam menyoroti kubangan luka karakternya yang seolah tampil tak berkesudahan. Ada sebuah kesan berlebihan supaya para penonton menguraikan air mata dan ikut dalam pengarahannya, meski salah satu diantaranya mampu tampil tepat sasaran, sebutlah momen ketika Dita mendengar kematian pertama kekasihnya. Momen tersebut amat sederhana, namun mampu menguarkan sebuah emosi yang bergejolak di dalamnya.
Jika ditilik dari persepsi logika, Ketika Berhenti di Sini jelas penuh akan cacat, perlu suspension of disbelief dalam mencerna segala prosesnya. Di saat yang bersamaan pula, sinematografi arahan Anggi Frisca mammpu memberikan sebuah keajaiban kala ia mampu menyulap tempat yang sederhana memiliki makna berupa kenangan yang terkandung di dalamnya.
Ketika Berhenti di Sini adalah film seorang Prilly Latuconsina yang kian matang dalam mengambil pula menampilkan degradasi emosi yang tak hanya sebatas menangis sekencang-kencangnya, sang aktris mampu menyampaikan emosi lewat gerak kasual yang tak kalah memberikan nyawa tersendiri. Meski di saat yang bersamaan, ini mengurangi potensi para pemeran pendukungnya yang amat disia-siakan.
Paling berpengaruh adalah karakter Ifan yang kurang diberikan motivasi yang jelas selain sebatas pelarian dan tempat untuk bersandar. Cut Mini pun demikian. Beruntung para pemainnya melakukan hal yang serupa, termasuk kehadiran singkat Widyawati sebagai nenek Ed, yang seperti biasa, mampu meruntuhkan tembok perasaan berbekal tatapan pula ucapan yang disampaikan.
Konklusinya menebus sebuah kesalahan ketika persentasinya sendiri penuh akan kejelasan dalam menuntaskan konflik secara bersamaan. Dari sini teori pula prinsip Mandala kembali berperan. Prinsip yang tak hanya sekedar menampilkan konsep arah mata angin sebagai bentuk nafsu sekaligus perasaan manusia, melainkan juga sebagai sebuah keseimbangan. Itulah mengapa dalam prosesnya diperlukan sebuah penerimaan, termasuk dalam memaknai sebuah kehilangan sebagi proses perayaan untuk melanjutkan kehidupan.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar