Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - MANTRA SURUGANA (2023)

 

Semenjak merilis trailer pertamanya, Mantra Surugana mencuatkan sebuah harapan akan sebuah kesegaran genre horror folklore yang menarik untuk disimak. Terutama bagi saya, membawa elemen nuansa sunda menampilkan kedekatan representasi yang teramat khusus, sayang, sebagaimana harapan yang tak sesuai dengan kenyataan, Mantra Surugana menghadirkan sebuah kekecewaan selepas paruh utamanya yang tampil cukup menjanjikan.

Itu hanya berlaku untuk pembukanya saja. Tak perlu menunggu waktu lama untuk mengendus segala ketidakberesannya, termasuk ketika rentetan jumpscare murahan datang silih ganti ketika film harusnya melakukan sebuah introduksi.

Tantri (Sitha Marino) adalah mahasiswa baru yang memutuskan untuk menetap di sebuah asrama. Hari pertamanya tak begitu menyenangkan dengan santernya berita terkait hilangnya Arum (Rania Putrisari) dan Luki (Yusuf Mahardika), dua mahasiswa yang masih saja belum ditemukan keberadaannya. Semuanya berjalan teramat singkat, kita tak sempat berkenalan dengan karakternya atau mengetahui latar belakang kisahnya (yang dapat diakali andai para pembuatnya mempunyai kepekaan tinggi) hanya untuk dijejalkan rentetan jumpscare tadi.

Sebelumnya, asrama tersebut sudah memiliki Asta (Fergie Brittany) dan Fey (Shabrina Luna), sahabat dekat Arum dan Luki yang berpura-pura tak mengetahui apa yang telah terjadi, meski di saat bersamaan, Mahesa (Dewa Dayana) masih belum bisa menerima hilangnya sahabat mereka.

Ketimbang sebuah korelasi, karakternya pun bak tampil berdiri sendiri. Guna mengakhiri teror yang menghantui mereka, Asta, Fey dan Reza (Rafael Adwel) mengajak Tantri untuk menelusuri tempat kejadian yang diduga menjadi lokasi terakhir Arum, hingga sebuah buku berisikan aksara sunda berhasil ditemukan, mereka kemudian melakukan sebuah ritual pemanggilan yang bukannya menyelesaikan sebuah permasalahan-melainkan bangkitnya sebuah entitas jahat yang tak segan menghilangkan nyawa.

Ditulis naskahnya secara keroyokan oleh empat orang (termasuk sang sutradara, Dyan Sunu Prastowo) Mantra Surugana mengalami sebuah krisis identitas dengan sibuk menampilkan sebuah adegan menjanjikan tanpa pernah dibarengi oleh sebuah tujuan. Narasinya pun jauh dari kata rapi, transisi antar adegan pun berlangsung kasar dan tak jarang meninggalkan beberapa pertanyaan yang akan melukai pikiran.

Para pembuatnya pun sadar, bahwa semuanya sebatas berada dalam sebuah niatan menciptakan sebuah tontonan menyeramkan dan penuh akan pesan mendalam. Ditambahkanlah isu seputar kekerasan seksual yang sampai tulisan ini dibuat berlalu begitu saja. 

Secara kuantitas, Mantra Surugana jelas tak perlu diragukan lagi kapasitasnya. Tampilan hantunya tampak menyeramkan, tata kameranya variatif mengambil sudut pandang, pula pemakaian visual effect pun jauh diatas rata-rata kebanyakan film horror kita. Sebuah kemajuan yang patut diapresiasi kehadirannya.

Berbanding terbalik dengan kualitasnya yang tampil begitu jongkok. Narasi yang tak memiliki pijakan pasti, unsur sadisme yang tak pernah ditekan batasnya pula ketiadaan rules yang jelas menyulitkan saya untuk menyukai keseluruhan filmnya. Hingga tatkala sebuah konklusi yang seharusnya menjadi ajang penebusan setimpal bagi cerita yang memasang sebuah kutukan turunan tampil disepelekan. Bukannya menyeramkan melainkan menggelikan, tunggu hingga klimaks yang mengisyaratkan sebuah kutukan yang belum saja terselesaikan. Lantas apa yang harus dipertahankan?

SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar