Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - KUN ANA WA ANTA (2023)

 

Kun Ana Wa Anta garapan sutradara Rully Manna (Mas Suka Masukin Aja, Ada Mertua di Rumahku) membawa petualangan bernuansa religi ditengah muatan pesan moral yang diusungnya-sebagaimana tujuan utama pembuatannya. Saya tak menyalahkan keputusan tersebut, karena, bagaimanapun film secara universal adalah media bebas berkreasi, termasuk dalam rangka mengedukasi. Berangkat dari hal tersebut, Kun Ana Wa Anta memang berhasil, meski jika melihat rekan sejawatnya yang sudah terlebih dahulu melakukan hal yang sama, semuanya nampak kerdil.

Firman (Muzakki Ramdhan) terpaksa mengikuti kemauan sang ayah (Mathias Muchus) untuk mengembam ilmu di pesantren. Berbeda dengan rekan sejawatnya, Firman mempunyai pola pikir kritis. Ia sempat mengeluh terhadap sang ayah perihal kebebasannya untuk memilih jalan (Firman amat menyukai binatang dan segala ilmu di dalamnya, meski berbekal ensiklopedia). Meski kebanyakan orang tua negeri ini berpikir bahwa masuk pesantren dapat membanggakan orang tua tanpa pernah memandang hal lain yang berpotensi sama.

Benturan tersebut memang terkesan disepelekan hanya untuk filmnya menampilkan sebuah edukasi seharusnya anak terhadap orang tua. Semenjak kedatangannya, Firman membuat heboh seisi pesantren ketika ular peliharaannya lepas dan mengacaukan acara sunatan massal. Ia pun sempat berseteru dengan Hanif (Abe Moore), teman sekamarnya yang membenci hewan dengan alasan trauma. Pula tak ketinggalan dengan santriwati yang sempat memukulnya, Khanza (Balgis Balfas).

Tentu perseteruan ini nantinya akan menyatukan semuanya terlebih ketika mereka sama-sama terlibat petualangan menyelamatkan orang utan langka yang kabur selepas diburu sindikat ilegal. Orang utan yang diberinama Uto itu nantinya akan menjadi sahabat dekat Firman, membawa filmnya menampilkan sebuah relasi manusia-hewan layaknya seri Free Willy.

Ditulis naskahnya oleh Rina Novita (turut merangkap sebagai produser) dan Achi T.M. (Insya Allah, Sah!), Kun Ana Wa Anta memasukan beragam elemen secara paksa tanpa pernah secara dalam digali potensinya. Mulai dari muatan pendidikan islami dan moderen hingga petualangan melindungi satwa langka dengan karakter multikultural (tentu ini salah satu yang patut diapresiasi) di dalamnya. Semuanya sebatas pernak-pernik sambil lalu.

Jika paruh awalnya diisi oleh tuntutan mengedukasi, pertengahan filmnya mulai menjamah ranah drama yang tersaji secara matang akibat kurangnya urgensi yang dihasilkan. Entah ini demi menjauhkan filmnya agar tak terkesan kelam atau memang kurang cakapnya penulisan, Kun Ana Wa Anta mengambil jalan pintas tatkala semuanya diselesaikan lewat jalan penuh simplifikasi.

Selain sarat simplifikasi, filmnya pun bak sebuah repetisi, misal tatkala petualangan mencari Uto, polanya tak jauh dari saling menyalahkan satu sama lain selepas Uto kembali hilang. Pemakaian efek praktikal untuk orang utannya sendiri terlihat cukup mumpuni, meski sesekali terlihat jelas menggunakan pemeran pengganti.

Akhir kata, Kun Ana Wa Anta memang jauh dari kata sempurna. Pun, menilik statusnya sebagai "film pesanan" ada banyak pertimbangan yang sengaja dimasukan. Untungnya, perihal toleransi beragama dan segala kecurigaan di dalamnya mampu tersampaikan dan mendamaikan, meski jalan yang ditempuh sejatinya kurang diberikan sorotan.

SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar