Jika melihat judulnya yang sempat menyulut sebuah perdebatan karena penggunaan kata "betina", kemudian disusul dengan materi promosi filmnya yang menjual rating usia 21+, sulit untuk tak tertarik dengan Para Betina Pengikut Iblis yang menandai kali kedua sutradara Rako Prijanto menggarap sajian horor setelah remake Bayi Ajaib (sama-sama dibawah naungan bendera produksi Falcon Black). Semua bentuk tersebut adalah sebuah kesengajaan marketing yang kemudian berlanjut pada keseluruhan filmnya (exactly, in a negative way).
Belum menginjak durasi 10 menit, paruh awal filmnya sudah menampilkan sadisme berupa adegan amputasi kaki Karto (Derry Oktami), ayah Sumi (Mawar de Jongh) lewat bantuan dokter setempat, Freedman (Hans de Kraker). Sumi, wanita yang harus kehilangan masa remaja dan mimpinya keluar kota hanya untuk mengurusi ayahnya yang sakit dan bahkan sering bertindak kasar terhadapnya. Dari sini, karakterisasinya menarik, ada sebuah range dengan potensi yang besar sebelum seketika turut dilumpuhkan oleh filmnya tatkala menampilkan sebuah freezer.
Ya, sekilas benda tersebut memang sederhana dan sah-sah saja digunakan. Namun, ketika Para Betina Pengikut Iblis terang-terangan menyampaikan kepada penonton bahwa filmnya bersetting sekitar pasca kemerdekaan lengkap dengan segala pernak-pernik semisal penggunaan pakaian hingga belum tersedianya listrik, hal tersebut justru mengkhianati rules utama filmnya. Dari sini, ketidakberesan itu semakin berlanjut.
Naskah yang ditulis oleh sang sutradara bersama Anggoro Saronto (Bangkit!, Kambodja, Enam Batang) bak kekurangan riset dalam mengakali hal demikian. Saya tahu, keberadaan freezer ialah sebagai pendukung filmnya menampilkan unsur kanibalisme yang seharusnya bisa saja diakali keberadaannya. Kontradiksi semacam ini jelas fatal dan kentara kurang konsisten.
Belum cukup sampai sana, Para Betina Pengikut Iblis pun masih memiliki karakter Sari (Hanggini), mantan dukun yang kembali melakukan dosa setelah kematian adiknya yang mengenaskan. Kedua wanita tersebut terhubung akan rayuan dan bisikan Iblis (diperankan dengan sangat menjengkelkan oleh Adipati Dolken, yang alih-alih tampil menyeramkan malah menyulut teriakan dan tawa yang keras).
Para Betina Pengikut Iblis seolah kembali menegaskan bahwa niatan saja tak cukup untuk membuat sebuah sajian yang mengesankan. Hal sederhana seperti diatas pun gagal dan hanya menjadi sebuah persoalan yang seharusnya tak lahir dari sutradara dan penulis yang sudah malang-melintang dan berpengalaman. Entah ini sebuah kesengajaan atau bukan, menontonnya pun menciptakan sebuah kesan sarat ambiguitas akibat ketiadaan penegasan.
Lalu bagaimana dengan pemakaian rating 21+ yang banyak dielu-elukan itu? Secara spesifik penggunaan tersebut kurang memuaskan karena Rako mengartikan kesadisan dan kekerasan dengan sebanyak mungkin menampilkan potongan tubuh dan organ dalam manusia dengan sesering mungkin dan melupakan esensi utama film horror slasher maupun gore sesungguhnya bersumber dari proses penjagalan maupun pembunuhan yang dilakukan secara perlahan. Benar satu hingga dua adegan ditampilkan, namun kebanyakan opsi yang digunakan begitu menggampangkan, ketika kematian karakternya banyak ditampilkan secara off-screen.
Baik Mawar de Jongh maupun Hanggini tampil over-the-top. Bukan mereka tampil buruk, karena Para Betina Pengikut Iblis secara tersirat mewarisi DNA film horor klasik lengkap dengan segala tindak-tanduk antagonis yang dibuat secara berlebihan. Tak sepenuhnya mengganggu, yang disayangkan justru kualitas filmnya yang tak mendukung dan kemudian ditutup lewat jalur sarat simplifikasi dengan menampilkan sebuah twist yang kehadirannya amat dibuat-dibuat. Tunggu setelah third act filmnya yang mengawali pertemuan ketiga karakter utamanya, termasuk Asih (Sara Fajira) sebuah tulisan terpampang nyata "TO BE CONTINUED" yang berarti kita hanya menikmati introduksi filmnya yang compang-camping hanya untuk mengetahui bahwa siksaan sesungguhnya belum berakhir.
SCORE : 1.5/5
0 Komentar