"Ibu sudah selesai menghantui, sekarang giliran anak-anak".
Melihat tagline diatas bak sebuah parodi atau sindiran bagi Pengabdi Setan (2017) dan sekuelnya Pengabdi Setan: Communion (2022) yang rasanya akan membuat seorang Joko Anwar malu jika melihat ini. Merupakan comeback bagi sutradara Erwin Arnada (Nini Thowok, Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya, Kelam) Anak Titipan Setan mengikuti jajaran horor buatannya yang memantapkan statusnya sebagai sajian horor kelas teri.
Anak Titipan Setan banyak mengingatkan saya kepada Nini Thowok yang masing-masing mengenalkan mitologi baru bagi dunia perdemitan. Kali ini giliran sekte Jaran Penoleh yang bernasib serupa, ketika narasi sama sekali tak mendukung maupun memberikan sebuah wadah yang mumpuni bagi guliran eksekusi yang digarap alakadarnya.
Mungkin, menurut pembuatnya horor itu yang penting menampilkan penampakan secara terus-menurus untuk mebuat takut penonton. Jangankan definisi takut, menyaksikan Anak Titipan Setan malah mengundang tawa. Iya, tawa ketika melihat rentetan kejadian yang dilakukan para tokohnya yang diluar nalar dan logika.
Eyang Susan (Ingrid Widjanarko) menjalankan bisnis pembuatan batik tulis yang sudah malang-melintang. Suatu ketika, bisnisnya mulai perlahan sepi yang ternyata diakibatkan oleh telatnya tumbal anak 10 tahun yang harus ia persembahkan. Dua cucunya telah menjadi korban, dan untuk mengatasi masalahnya ia memaksa Sari (Annisa Hertami), menantunya yang baru saja kehilangan anak dan suami-untuk mengirimkan surat kepada Putri (Gisella Anastasia), anak perempuannya yang memutuskan untuk kawin lari setelah tak direstui hubungannya dengan seorang pria asal Australia dengan dalih harus membawa cucunya.
Paruh awal durasinya sudah menampilkan tanda ketidakberesan ketika Erwin Arnada mengartikan dunia lain ciptaannya dengan menyalakan lampu merah sebanyak-banyaknya. Saya masih memafhumi dan menganggap dalam hati bahwa Erwin terinspirasi oleh James Wan di Insidious. Hingga tatkala momen tesebut diulang kembali dengan pencahayaan yang kadang inkonsisten (bahkan salah satu lampu amat jelas tertangkap kamera) saya mulai mempertanyakan kredibilitasnya.
Anak Titipan Setan dibuat dengan niat tak sejalan pengadeganan tatkala naskah yang ditulis oleh sang sutradara bersama Wahyuddin Hasani Widodo bak setipis kertas dan kekurangan daya bahkan upaya. Paling kentara fatal adalah momen ketika memasuki ruangan persembahan yang sebatas hanya memberi sesaji berupa emas dan merapikan tulisan berisikan perkamen dan tengkorak kuda. Momen seperti ini kian direpitisi tanpa adanya urgensi selain hanya sekedar menambah durasi.
Desain hantunya yang dikreasikan sendiri oleh Erwin Arnada setidaknya memberikan sebuah kesegaran, meski ini berarti kekurangan daya gerak bagi hanunya yang seabatas menggerkan bibirnya, tubuhnya pun urung disorot, sebatas menampikkab gerakan kaki dengam bantuan CGI. Saya sampai lupa menyebut bahwa desain anak setannya bak terinspirasi dari J-horror yang memasang wajah rata sang hantu dengan tata rias yang kurang meyakinkan (terkecuali dengan anak setan perempuan yang terlihat di poster).
Selain mengandalkan jumpscare serampangan, Erwin Arnada pun sangat terobsesi dengan Scott Derrickson di mana salah satu adegan ikonik dalam Sinister (2012) ia buat ulang dengan urgensi yang harus dipertanyakan keberadaannya. Ini semakin memantapkan bahwa Anak Titipan Setan murni adalah sebuah parodi.
Kehadiran Gisella Anastasia sebagai karakter utama sejatinya patut dipertanyakan. Screen-time-nya muncul belakangan di third-act filmnya. Berharap menyelamatkan filmnya, performa Gisel pun mengikuti keseluruhan filmnya, kurang tenaga dan kekurangan daya serta upaya. Bahkan, di salah satu adegan petak umpet dengan sang hantu, sebuah momen diluar nalar pun muncul yang sejatinya tak perlu disorot oleh kamera. Ialah ketika Gisel membenarkan sandalnya yang copot dan kamera berdiam saja menangkap ekspresinya.
Konklusinya sarat simplifikasi. Anak Titipan Setan adalah sajian medioker yang tak berotak dengan menjadikan Jaran Penoleh sebagai jualan utam dan melupakan esensinya begitu saja. Jika Jaran Penoleh adalah manusia dan memutuskan untuk menonton film ini, Jaran Penoleh niscaya akan kehilangan harga diri, sama seperti saya yang tak habis pikir untuk membuang waktu 108 menit berharga dengan siksaan yang membuat keram logika. Sungguh diluar nurul, tak habis fikri dengan sajian semacam ini.
SCORE : 0.5/5
0 Komentar