Sebagai film panjang dengan genre horror pertamanya, sutradara Adriyanto Dewo (sebelumnya banyak mengarahkan film drama dan sempat mengisi segmen Pasar Setan dalam omnibus Hi5teria) mengikuti tradisi sutradara "spesialis non-horror" yang akhirnya menegaskan kalimat "semua akan horror pada waktunya" menjadi kenyataan. Premisnya sendiri formulaik, masih mengenai praktik pesugihan. Namun, ketimbang menampilkan parade penampakan, Adriyanto Dewo lebih berfokus kepada dampak yang dihasilkan.
Asha (Aghniny Haque) seorang perawat yang pasca kematian ibunya memutuskan untuk menjadi perawat rumah bagi seorang pasien lansia bernama Ismail (Tyo Pakusadewo) yang mengidap penyakit misterius. Desas-desus timbul bahwa rumah yang ditempati Asha adalah rumah tempat praktik pesugihan yang konon menyimpan sebuah malapetaka. Tak butuh waktu lama bagi Asha untuk menyadari itu semua.
Ditulis naskahnya oleh Daud Sumolang (Susi Susanti: Love All, Dear David) Kajiman (mempunyai judul lengkap, Kajiman: Iblis Terkejam Penagih Janji) turut mengeleminasi stereotype karakter dalam film horror. Misalnya karakter Bu Rum (yang dimainkan secara gemilang oleh Mian Tiara), dukun setempat yang tak memakai seragam layaknya "dukun layar lebar", pun di rumahnya tak ditemukan beragam macam benda aneh. Bu Rum yang sempat membantu Asha untuk berkomunikasi dengan sang ibu hanya membutuhakan lilin saja sebagai perantara, yang mana ini lebih rasional.
Selain memberikan perbedaan, Kajiman pun turut memberikan sebuah kritisi terhadap "dukun layar lebar" itu sendiri yang dimainkan dengan mencolok oleh Rukman Rosadi. Ketimbang membaca mantra, dukun ini hanya sebatas memasang jurus kuda-kuda dan mendewakan uang setelahnya. Menangani kasus semisal kesurupan pun ia kelabakan, hanya perlu membutuhkan sebuah tali sebagai pengikat ketimbang mengusir entitas jahat.
Benar. Kajiman bukanlah tontonan horror untuk semua orang. Pacing lambat diterapkannya pula ketimbang menyuapi penonton, ia malah membuat penonton untuk memecahkan misterinya sendiri layaknya menyusun sebuah puzzle agar tertata rapi di keseluruhan durasi 99 menit miliknya ini. Keputusan yang dipilih pun menimbulkan beragam persepsi, mereka yang akan memujanya berkat kerapian narasinya maupun mereka yang membencinya karena kurang banyaknya amunisi teror maupun persentasi non-linier yang bagi penonton awam akan cukup membingungkan.
Saya berada pada golongan pertama, meski beberapa diantaranya kurang menikmati pengadeganan miliknya ini. Dewo memang melibatkan penonton di dalamnya, sesekali ia tampilkan wujud penampakan makhluknya yang begitu minimalis namun tetap mencekam. Sayang, semuanya harus berakhir pada sebuah catatan, semisal kurangnya pemanfaatan tempo yang berujung lesu maupun kurangnya scoring kala mempermainkan adegan yang cukup krusial.
Pemilihannya pun sempat bertolak belakang, kala tujuan awal filmnya untuk melibatkan penonton berujun pada sebuah konklusi yang terlampau banyak menyuapi informasi. Tak ketinggalan, beberapa adegan pun tampil begitu canggung seolah tertahan batasan usia dalam mengemasnya. Salah satu kematian karakternya malah menimbulkan tawa spontan seisi studio (clue: jendela).
Beruntung, Kajiman memiliki konklusi kuat dari horror kebanyakan. Ketika seseorang diambang duka yang mendalam, terdapat sebuah kekejaman dunia yang lebih menakutkan ketimbang setan maupun pesugihan. Unsur mistis dileburkan secara mulus dengan elemen psikis yang menjadi cangkang bagi filmnya untuk menampilkan sebuah manifestasi iblis itu sendiri, terlebih setelah menguasai hati dan pikiran manusia yang lemah semuanya terasa begitu mudah.
SCORE : 3/5
0 Komentar