Diluar judulnya yang kurang enak untuk dibaca, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah masih menyimpan setumpuk potensi perihal karakterisasi mengenai keputusan pemilihan judulnya yang sebagaimana pangsa pasarnya inginkan-menampilkan sebuah kesan diluar dugaan terkait narasi yang sarat akan elemen sinetron-ish ini nyatanya tak seburuk apa yang dibayangkan. Itu benar. Meski sayangnya masih banyak pula kekurangan yang harus ditambal.
Manda (Amanda Rawles) di hari jelang pernikahannya dengan Dimas (Roy Sungkono) hendak melakukan bridal shower di Bali bersama kedua sahabatnya, Aul (Zsazsa Utari) dan Dee (Amel Carla). Itupun ia dapatkan setelah meminta bantuan sang kekasih untuk mengatakannya langsung kepada ibunya (diperankan oleh Wulan Guritno, yang dalam wawancara mengalami hal yang sama dengan karakter utama). Sesampainya di Bali, Manda bertemu dengan Bossas (Daffa Wardhana), pria setempat yang gemar berkelahi di bar milik kakaknya, Ares (Edward Akbar).
Mudah untuk menebak apa yang hendak terjadi selanjutnya tatkala naskah buatan Evelyn Afnilia (2045 Apa Ada Cinta, Until Tomorrow, Marriage) tak memberikan sebuah pemaharuan selain setia pada materi yang sangat khas nuansa FTV. Ini bukan sebuah masalah selama pembuatnya dapat memberikan ketertarikan tersendiri, dan apa yang terjadi pada Bukannya Aku Tidak Mau Nikah sebenarnya menyimpan secercah potensi sebelum akhirnya tenggelam oleh keengganan naskahnya bereksplorasi.
Saya menyukai kebersamaan Manda-Bossas yang lewat momen sederhana semisal membeli es krim, menari bebas di bar hingga berlari dari kejaran debt collector-setidaknya memberikan sebuah dampak yang cukup bagi Manda untuk merasakan kebebasan di tengah segala kungkungan dan tuntutan kehidupan yang selalu diatur oleh sang ibu. Setelahnya, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah kembali pada mode awal.
Beruntung, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah memiliki Amanda Rawles dan Wulan Guritno sebagai penampil terbaik yang bisa menyulap materi sederhana terlihat mempunyai bobot yang cukup ditengah tuntutan filmnya yang sengaja mengartikan sebuah emosi dengan menangis atau marah sekuat dan sekencang-kencangnya dan mengeliminasi sebuah degradasi. Zsazsa Utari dan Edward Akbar sebagai pemeran pendukung pun unjuk gigi lewat pembawaannya yang variatif, santai namun mempunyai gejolak tersendiri.
Sayang, Daffa Wardhana di film panjang keduanya pasca Panduan Mempersiapkan Perpisahan (2022) masih belum siap untuk mengatrol peran. Mungkin ini perihal sebuah pengalaman yang membuatnya kurang untuk bersinar. Ketika Daffa yang memerankan karakter bad boy dengan rebellion-nya mengartikan kejantanan dengan berkelahi dan berteriak sekencang mungkin, semakin lengkap adalah tatkala pelafalannya pun tenggelam dan kurang jelas perihal artikulasi. Paling kentara adalah ketika momen perkelahiannya dengan Jeremiah Lakhwani (yang bak meniru cara Daffa perihal menafsirkan kejantanan dengan teriakan).
Disutradarai oleh Guntur Soeharjanto (Backstage, Argantara, Ranah 3 Warna), Bukannya Aku Tidak Mau Nikah bak sebuah penurunan dibanding karya beliau sebelumnya yang biarpun naskahnya setipis kertas, masih terlihat megah entah itu lewat pengadeganan miliknya maupun scoring hingga gambar yang terlihat mewah.
Menjelang konklusi, filmnya bak kehabisan amunisi. Ketika pemakaian narasi episodik (filmnya mengambil setting seminggu sebelum pernikahan hingga hari pernikahan) kian mengurangi rasa filmnya yang terkesan tampil buru-buru, alhasil transisi kasar tercipta ditengah momen puncak yang tersaji begitu lemah sebagaimana sebuah film yang sengaja mengambil jalan pintas lewat pemanfaatan sebuah twist yang sama sekali tak memberikan dampak signifikan.
Pun, yang sedikit menyebalkan adalah penulisan karakterisasi tokohnya (utamanya Dimas dan Bossas) melukai pencapaian kesan likeable yang sebelumnya telah filmnya tampilkan. Bukannya Aku Tidak Mau Nikah memang bukan tontonan sampah, melainkan sebuah sajian yang kurang maksimal akibat kemalasan bertutur naskahnya yang terlampau menyederhanakan potensinya.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar