Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - EVIL DEAD RISE (2023)

 

Butuh waktu 10 tahun guna menggarap sebuah sekuel bagi waralaba Evil Dead yang dikenalkan oleh sang maestro, Sam Raimi sejak tahun 1981. Evil Dead Rise selaku angsuran terbaru sejatinya tak memberikan sebuah signifikansi ekstrem terhadap premisnya yang masih setia (jika tak ingin disebut pengulangan) dengan dua film sebelumnya (terkecuali Army of Darkness yang memang berdiri sendiri) yang bukan sebuah persoalan selama pembuatnya paham akan poin vital hingga urgensi ikonik milik film sebelumnya. Evil Dead Rise berhasil melakukan itu, bahkan lebih dari itu.

Jika Fede Alvarez mencoba menghidupkan kembali sang iblis, lain halnya dengan Lee Cronin (The Hole in the Ground) dalam fitur keduanya ini-sesuai judulnya yakni membangkitkan kembali sang iblis yang telam lama bersemayam dalam The Book of Death. Pembukanya sendiri menarik, menampilkan sebuah korelasi yang meskipun bukan hal yang baru, tetapi akan selalu diingat kala filmnya menampilkan sebuah tittle card ikonik di samping memberikan sebuah estetika, akan selalu dikenang sepanjang sejarah sinema.

Formula cabin in the wood digantikan dengan sebuah apartemen kumuh yang sebentar lagi akan digusur. Perkumpulan remaja digantikan dengan kelompok keluarga disfungsional dengan seorang ibu tunggal, Ellie (Alyssa Sutherland) bersama ketiga anaknya, Danny (Morgan Davies), Bridget (Gabrielle Echols), dan si kecil Kassie (Nell Fisher). Menyusul berikutnya adalah Beth (Lily Sullivan), adik kandung Ellie yang datang berkunjung selepas sebuah masalah menimpanya.

Guncangan gempa seketika datang, membuat parkiran bawah tanah retak ketika para anak-anak tengah kembali pasca membeli pizza. Sebagaimana kecurigaan tinggi seorang remaja pada umumnya, Danny menemukan sebuah lubang dan kemudian masuk ke dalamnya dengan mengambil tiga piringan kaset beserta sebuah buku tua peninggalan tahun 1923. Tak butuh waktu lama untuk sebuah malapetaka datang berkunjung setelahnya. 

Evil Dead Rise dibangun secara perlahan tapi pasti lewat sebuah eskalasi mumpuni. Cronin paham ia hendak bermain-main dengan kesadisan dan kekejaman, namun bukan berarti ia mengabaikan detail lain yang akan menjadi sebuah hint nantinya. Sedari awal filmnya bermula senantiasa memberikan sebuah homage bagi waralabanya dengan modifikasi tak kalah mumpuni.

Bagi penggemar setia, mudah untuk menangkap hal yang dimaksud, meskipun untuk penggemar baru hal itu justru tak mengurangi kenikmatan sebuah crowd pleaser horror. Akar kini digantikan kabel, headset digantikan dengan headphone hingga pintu lift pun memiliki arti tersendiri. Repetisi semacam ini memang jauh dari kesan pintar, namun sulit rasanya untuk tak menyebutnya cerdas.

Terornya masih dipertahankan. Sadisme, benda tajam pemancing teriakan hingga alat dapur sederhana (paling traumatik adalah yang melibatkan parutan keju di dalamnya) pun tak kalah pentingnya dalam memberikan sebuah peranan horor multi-fungsi dengan timing yang senantiasa tepat dalam memberikan sebuah paranoia maupun antisipasi setelahnya.

Tentu ini tak lepas dari performa meyakinkan sarat keseraman dari aktris asal Australia, Alyssa Sutherland yang berbekal cara berjalan hingga sorotan mata mampu memancarkan aura keseraman. Demikian pula dengan Lily Sullivan yang menambah satu lagi jajaran scream queen yang patut untuk diperhitungkan. Tak ketinggalan adalah debut pemeran anak-anak yang mampu memberikan tandem sepadan tanpa harus tergantikan.

Berbicara mengenai Evil Dead Rise tentu tak lepas dari scoring gubahan Stephen McKeon yang menjadi langganan Cronin sedari film pertamanya. Musik yang dihasilkan membetikan sebuah multi-layer yang imersif dan konfrontatif tanpa pernah terasa berisik. Demikian pula dengan bidikan kamera Dave Garbett yang lebih sering menerapkan close-up demi menangkap keseraman yang dihasilkan secara simultan.

Selain akan dikenang lewat penggunaan 6.500 liter darah untuk sebuah penghormatan bagi The Shinning (1980), Evil Dead Rise pun akan dibicarakan perihal kesadisannya yang tak ragu memotong bagian badan dan kebolehan berseloroh lewat komedinya yang khas Sam Raimi (versi 2013 tak memiliki itu). Konklusinya seolah enggan mengerem pedal gas yang kemudian menciptakan sebuah klimaks paling memuaskan tahun ini. Klimaks yang bukan hanya menampilkan Marauder tetapi turut menyinggung perihal makna dan arti keluarga sebagiamana muatan yang dipasang slogannya.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar