Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - HATI SUHITA (2023)

 

Bagi orang yang tak terlalu menyukai tontonan religi seperti saya, mudah untuk menganggap remeh Hati Suhita berdasarkan premis formulaik miliknya yang tak memberikan sebuah perubahan selain sama-sama sebagai sajian romantika bernapaskan islami lainnya. Muncul sebuah kejutan pasca menontonnya, bahwa Hati Suhita ternyata adalah tontonan yang cukup solid dan kompleks. Terlebih, ketersediannya untuk menelisik lebih dalam karakternya dan keengganan untuk menyampaikan ceramah menggurui pada umumnya adalah salah satu keunggulan terbesar filmnya.

Sejak memutuskan untuk menimba ilmu di pesantren, Alina Suhita (Nadya Arina) sudah dijodohkan oleh Kyai Hannan (David Chalik) dan Ummi (Desy Ratnasari) dengan anak semata wayangnya, Gus Birru (Omar Daniel). Hari pernikahan pun tiba, Guss Birru yang merupakan seorang aktivitis pembela kebebasan bahkan tak bisa menolak keinginan orang tuanya di saat hatinya masih tertambat akan Ratna Rengganis (Anggika Bolsterli), kekasih sealigus rekan bisnisnya.

Ditulis naskahnya oleh Alim Sudio (Buya Hamka, Gita Cinta dari SMA, Ranah 3 Warna) berdasarkan novel berjudul sama buatan Khilma Anis, Hati Suhita menjauh dari pakem drama perihal perjodohan yang hanya akan membuat karakter wanitanya meratap dan menangisi kesedihan setelah mengetahui cintanya bertepuk sebelah tangan. Benar, momen tersebut hadir yang kali ini tampil dalam kadar yang seharusnya sebagaimana manusia pada umumnya.

Alina Suhita dipilih sebagai menantu karena ia dipercaya dapat meneruskan kepemimpinan pesantren menjadi jauh lebih baik. Gus Birru pun menghormatinya, meski ketika malam pertama tiba, ia menegaskan tidak akan menyentuh Suhita karena ia tidak mencintainya. 

Perjalanan Suhita mempertahankan rumah tangganya bukan hanya sebatas cinta, tetapi amanah yang selalu jaga. Pun, kita diperlihatkan bagaimana Suhita mencoba merebut hati suaminya (yang mana hal ini tentu manusiawi) dengan menggodanya mengenakan lingerie, sebuah adegan yang tak saya sangka akan hadir dari film religi. Di saat bersamaan, adegan ini pun bukan sebatas pernak-pernik semata, melainkan sebuah upaya menelusuri momen intim para karakternya.

Pengarahan Archie Hekagery (Wedding Agreement, Tarung Sarung) pun sumbangsih memberikan napas serupa, diterapkannya momen itu secara perlahan dengan iringan musik yang mendayu-dayu, sesekali ia tambahkan sebuah intrik agar penontonnya ikut terhanyut ke dalam cerita. Hasilnya? Beberapa diantaranya memang tersampaikan, sebagaimana yang terjadi dan saya lihat di studio tempat saya menonton, meski kesan sinetron-ish sulit dihindarkan sedari adegan pembukanya yang mencoba tampil sinematis dengan melibatkan drone sebagai alat bantunya.

Terdapat korelasi menarik antara karakter Suhita dengan kisah-kisah sejarah Jawa yang ditujukan memberikan sebuah komparasi karakternya dengan buku maupun epos setempat, yang paling berpengaruh ialah perihal cerita mengenai Dewi Suhita yang selalu tampil kuat dan tegar menghadapi segala permasalahan. Sayang, paralelisasi ini gagal tersampaikan dengan baik ketika filmnya sendiri sebatas menjadikannya sebua pernak-pernik nihil dampak signifikan.

Biarpun demikian, Nadya Arina tampil mengesankan lewat pembawaannya yang selalu memberikan nyawa bagi karakternya termasuk ketika seorang Suhita berdiam diri dalam menanggapi apa yang terjadi, ketika emosi yang tadi diredam membuncah hasilnya pun sesuai dengan apa yang diharapkan. Anggika Bolsterli pun masih piawai memberikan performa solid sebagai orang yang tak kalah tersakiti, apalagi ia diharuskan untuk merelakan dan mengikhlaskan hubungannya kandas begitu saja. Dibandingkan dua pemeran wanitanya, Omar Daniel mungkin kalah bersinar, meski dalam sebuah adegan krusial yang menjadi sebuah titik balik filmnya, respon Omar patut dipuji, kala kebanyakan film serupa mengagungkan sebuah maskulinitas, Gus Birru menyangkalnya dengan menundukan kepala sebagai respon murni tatakal ia menghormati wanitanya.

Tak kalah mencuri perhatian ialah para pelakon pendukungnya, Devina Aureel sebagai Aruna, sahabat dekat Suhita salah satunya. Kepiawaian Devina tak menjadikannya sebagai comic-relief belaka, ia mampu mewakili perasaan penonton lewat celetukan tanpa saring miliknya. Sang aktris jelas menyimpan bakat terpendam dalam menangani adegan komedik.

Sekali lagi, Hati Suhita adalah contoh bagaimana sajian bernapaskan religi dikemas. Tidak ada sebuah paksaan maupun celotehan mengenai agama kala filmnya sendiri mampu memanusiakan karakternya. Gus Birru misalnya, ia adalah anak tunggal seorang Kyai, terlihat jelas bahwa ia bukan sosok religius, tuntutan meneruskan pesantren ia gantikan dengan mengelola kafe, pun ketimbang baju koko ia memilih mengenakan kemeja kasual biasa, bahkan ia pun sering bangun tidur di saat matahari sudah meninggi. Sampai sini, Hati Suhita seharusnya bisa menjadi tonggak sederhana untuk sajian serupa kedepannya.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar