Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - HARUM MALAM (2022)

 

Dalam Dukun (2018), saya amat memuja penyutradaraan Dain Said tatkala mempadupadankan elemen supranatural dengan courtroom drama berbekal dua kubu yang saling berlawanan. Pun, demikian pula dengan Interchange (2016), biarpun tak sempurna turut menyentuh ranah fantasy yang menarik untuk dikulik. Harum Malam (mempunyai judul internasional Blood Flower) mungkin teramat sederhana, meski tuturan mengenai keberagaman budaya turut Said kedepankan, mulai dari pemain hingga bunga bangkai asal Sumatra ia libatkan dalam penceritaan.

Iqbal (Idan Aedan) begitu terpukul pasca kematian sang ibu, Dina (Nadiya Nisaa) ketika gagal menyelamatkan pasiennya yang kerasukan jin. Ia menyalahkan "kemampuan" dirinya yang tak bisa membantu sang ibu pula amat terganggu karena ia kesulitan dalam mengontrol penampakan dengan kenyataan. Sang ayah, Norman (Bront Palarae) memutuskan untuk membawa Iqbal kepada seorang ustadz untuk menutup indra keenamnya.

Hingga tatkala sang ayah bekerja selama dua pekan untuk merawat tanaman milik Jamil (Remy Ishak), serangkaian teror hingga penampakan kembali menghantuinya yang lambat laun menghantarkannya pada sebuah rahasia menakutkan. Demi menyelamatkan keluarga sekaligus teman terdekatnya, Ah Boy (Arnie Shasha), Iqbal harus kembali berhadapan dengan makhluk yang lebih kuat dari dugaannya.

Sekilas, naskah yang ditulis oleh Said bersama Ben Omar dan Nandita Solomon (Interchange) sebatas jembatan bagi Iqbal untuk berdamai dengan masa lalu pula membuka jalan bagi filmnya untuk menampilkan rangkaian adegan kerasukan dan prosesi ruqyah. Jauh dari kata baru memang, meski harus diakui, apa yang ditampilkan Said tampil cukup berani dengan tak segan membuat momen tersebut amat menyeramkan pula menjijikan, bak banyak meminjam pola Sam Raimi dalam Evil Dead hingga paling sederhana, Sebelum Iblis Menjemput milik Timo Tjahjanto.

Keberhasilan dalam menampilkan keberanian sayangnya tak diikuti dengan pengadeganan yang mumpuni. Tak jarang, Said kewalahan dalam menangani pacing yang berujung kurang tegasnya filmnya dalam memberikan nuansa penuh keseraman, bahkan jumpscare-nya pun minim variasi atau sekedar hentakan, yang ada hanyalah ragam repetisi adegan serupa yang bahkan hadir dalam kadar dua kali lipat, sebutlah adegan yang melibatkan mimipi di dalamnya.

Memasuki pertengahan, filmnya bak melupakan jualan utamanya (baca: bunga bangkai) demi menampilkan narasi berlandaskan rahasia serta hukum kausalitas yang tak seberapa kuat. Dalam sebuah wawancara, Said mengatakan bahwa Harum Malam bukan hanya sekedar horor, melainkan turut menyampaikan isu yang menyimpan sebuah relevansi yang tinggi.

Terkait hal demikian, filmnya tampil terlambat. Pun pemakaian bunga yang sengaja dijadikan simbol sexuality alat kelamin pun dirasa kurang tegas kala narasinya lalai memberikan sebuah jalan bagi filmnya dalam menyampaikan sebuah pesan. Simplifikasi pun dijadikan jalan untuk menyelesaikan.

Menuju konklusi, Harum Malam pun sempat tampil cringey kala salah satu keputusan karakter utamanya bak dipaksakan dan nihil motivasi selain hanya untuk menjadikannya sebagai seorang pahlawan. Dari sini timbul sebuah pertanyaan terkait maksud dan tujuan. Apakah tindakan tersebut adalah upaya self-destructive atau murni kemalasan para penulisnya? Pun, menilik hasil akhirnya hanya sebatas sambil lalu.

Kesan deus-ex-machina memang sulit untuk dihindarkan, sebagaimana Harum Malam menjadikan salah satu karaternya sebagai "sang terpilih". Desain monsternya mungkin kurang memadai akibat keterbatasan penggunaan CGI. Ingin rasanya saya menyukai keseluruhan Harum Malam andai potensinya tak sebatas disia-siakan, seumpama lantunan Surah Al-Fatihah yang terus diucapkan para karakternya sebagai jalan keluar sebuah permasalahan.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar