Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - SCREAM VI (2023)

 

Jika Scream (2022) memperkenalkan istilah requel, maka selaku sekuel langsung yang melanjutkan kisah sebelumnya, Scream VI memainkan istilah yang telah melekat lama pada filmnya itu sendiri yakni franchise. Sebagaimana sebuah waralaba, tentu aksi berlipat-ganda (disusul kemudian oleh anggaran) dan kemungkinan akan siapa saja yang jadi tersangka menjadi permainan yang lebih besar dan lebih sadis daripada sebelumnya. Scream VI menerapkan hal itu, dan hasilnya cukup berhasil.

Woodsboro kini digantikkan oleh Manhattan, New York City (sebagaimana Scream 2 memindahkan Woodsboro ke kampus) dan disana para penyintas masih bertahan. Sam (Melissa Barrera) masih dihantui trauma masa lalunya, sementara sang adik, Tara (Jenna Ortega) perlahan mulai melanjutkan kehidupannya dengan berkuliah bersama sesama penyintas, si kembar Mindy (Jasmin Savoy Brown) dan Chad (Mason Gooding). Benar saja, teror Ghostface terulang kembali selepas pembunuhan akan seorang professor film (diperankan Samara Weaving) menghebohkan massa dan menyudutkan Sam sebagai dalang utamanya.

Masih ditangani oleh duo Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillet (Scream, Ready or Not) modernisasi kian ditingkatkan (meski tak seberapa memberi perrubahan) sedari paruh awal pertamanya berlangsung. Jika sebelumnya karakternya berujung selamat, kali ini dorongan akan keingintahuan dalam bentuk kencan buta diterapkan, tak ada lagi panggilan berupa "What's your favorite scary movie?" saat telepon diangkat melainkan kembali menampilkan ketidakberdayaan seorang wanita.

Selanjutnya, naskah yang masih setia ditulis oleh James Vanderbilt dan Guy Busick memperluas penceritaan dengan turut menyangkut-pautkan akan fenomena toxic fandom yang kali ini tampil dalam ranah ekstrim, layaknya sebuah okultus dengan tempat pemujaan digantikan oleh bioskop yang menyimpan segala barang yang berhubungan dengan Stab dan Ghostface dari masa ke masa. Ini tentu di dapat lewat keberhasilan Gale Weathers (Courteney Cox) si reporter yang masih saja mendapatkan pukulan dalam kehadirannya.

Mengamini hal tersebut, Scream VI tampil lebih bertenaga dalam urusan teror dengan jangkauan tempat yang lebih luas. Adakalanya sadisme yang diterapkan tak segan untuk mengoyak tubuh secara perlahan dengan penekanan yang siap menghentikan aliran darah, bisa dibilang teknik membunuhnya lebih variatif-tanpa pernah melupakan ciri khas yang dimiliki waralabanya.

Visi estetika pun diterapkan oleh Bettinelli-Olpin dan Gillet dalam sebuah adegan yang turut melibatkan kereta bawah tanah dengan perayaan halloween sebagai latarnya. Triknya sendiri sederhana sebatas menebar beragam kostum ikonik dan tentunya beberapa topeng Ghostface yang lewat tata pencahayaan mumpuni terasa lebih menakutkan karena kita berurusan dengan keheningan meskipun dalam keramaian.

Konklusinya pun turut diperhatikan, seolah memutarbalikan keadaan dengan para penyintas yang langsung menyerang ke sarang si pembunuh. Beragam akesesoris yang ditujukan untuk fan service pun turut andil, yang setidaknya memberikan sebuah urgensi yang lebih mengingat benda atau barang tersebut pernah menjadi saksi bisu sebuah pembantaian yang bisa saja menorehkan sejarah sekaligus menyelamatkan nyawa.

Melissa Barrera seolah memantapkan bahwa ia adalah generasi penerus, sementara Jenna Ortega adalah scream queen mumpuni dengan maskara yang perlahan mulai memudar. Meski sangat disayangkan ketiadaan Neve Campbell mengurangi kenikmatan karena pada dasarnya semuanya bermula pada si empunya cerita. Demikian dengan Courteney Cox (yang turut menjabat sebagai produser) dengan screen-time minim, meski sempat diberikan sebuah panggung yang memfasilitasi tenaganya.

Bukan tanpa kekurangan, terkadang apa yang ditampilkan oleh Scream VI terasa kurang menggigit perihal penggunaan latar yang kurang dieksplorasi lebih, alhasil terdapat kesan tanggung setelahnya. Meskipun begitu, Scream VI tetaplah horor meta bentuk modernisasi yang akan menambah variasi dengan kadar kenikmatan yang masih tetap terjaga sebagaimana biasanya. Setuju atau tidaknya adalah urusan belakang ketika tujuan utama sebagai film hiburan telah tercapai.

SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar