Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PHANTOM (2023)

 

Phantom garapan sutradara Lee Hae-young (Believer, The Silenced) mewarisi DNA film buatan Park Chan-wook dengan segala kemisteriusan pula estetika miliknya. Pun, premisnya kurang lebih tak jauh berbeda, masih berbicara mengenai kedudukan penjajahan Jepang di Korea. Tak hanya karya sang maestro, Hae-young pun turut memberikan elemen lain atas kecintaannya pada genre tersebut, sehingga terciptalah sebuah sajian multi-genre dengan pengkawinan yang tak kalah solid.

Ditulis naskahnya juga oleh Hae-young, Phantom semula berjalan layaknya film spionase pada umumnya dengan tambahan sentuhan rasa noir pula budaya barat yang dilokalkan. Pun, jika ditelisik lebih dalam lagi, Phantom adalah hasil adaptasi Sound of the Wind karya Mai Jia. Perlahan kita pun berkenalan dengan salah satu karakternya, Park Cha-kyung (Lee Hanee) si mata-mata yang ditempatkan di bidang komunikasi.

Park Cha-Kyung adalah bagian dari organisasi anti-Jepang bernama Phantom, tugas mereka kali ini adalah membunuh residen-jenderal baru. Misi tersebut berujung pada sebuah kegagalan, yang menyebabkan Kaito (Park Hae-soo) selaku perwakilan militer Jepang mengumpulkan beberapa tersangka. Selain Park Cha-Kyung, rekan sesamanya yang terbilang baru, Baek-Ho (Kim Dong-hee) dicurigai, menyusul setelahnya adalah Yuriko (Park So-dam) si sekretaris residen-jenderal, Cheong Gye-jang (Seo Hyun-woo) si pemecah kode yang lebih mengkhawatirkan kucingnya daripada nyawanya, dan Junji Murayama (Sol Kyung-gu) yang berdarah setengah Korea pula terlibat perselisihan dengan Kaito.

Kelimanya dikumpulkan di sebuah hotel pinggir laut. Dengan keamanan tingkat tinggi pula penjagaan ketat, sulit rasanya untuk para tersangka kabur. Pun, tatkala interogasi mulai dilakukan, masing-masing karakter masih terilihat abu-abu, tak bergeming meski kukuh dengan pendapatnya masing-masing bahwa mereka ta terlibat. Dari sini pola whodunit diputarbalikan, menyisakan beragam persoalan mengenai kecurigaan pula kemisteriusan karakternya.

Semuanya dimainkan dengan penuh kejutan oleh Hae-young yang turut memberikan homage bagi Agatha Christie. Pertanyaan demi pertanyaan pun semakin mencuat-yang semakin dalam filmnya menyelam-semakin tak terduga progresi alurnya. Semuanya dimainkan secara pelan-namun pasti, kesabaran pun sempat diuji ketika filmnya dibuka.

Hae-young ibarat menerapkan ilmu bunglon. Semakin bertambah durasi semakin ragam pula eksplorasi miliknya, kali ini giliran aksi spionase bertempo tinggi yang dimainkan, yang memfasilitasi kemampuan pula para performa pemainnya yang sudah tak diragukan. Lee Hanee dan Park So-dam adalah duo femme fatale, sementara Park Hae-soo memancarkan aura otoriter yang mudah dibenci, Sol Kyung-gu adalah figur yang pantas dicurigai.

Salah satu kekuatan terbesar Phantom adalah kepekaan sang sutradara yang menampilkan kejutan dalam momen yang tak terduga, dua diantaranya adalah yang melibatkan meja makan di dalamnya, yang disusul oleh deretan aksi cepat (meski sulit untuk dibilang baru) dengan keindahan estetika yang senantiasa diperhatikan. Baik itu lewat pemakaian color-grading maupun ruang luas semisal tirai panggung, kameranya senantiasa mendukung, menciptakan keindahan lewat beberapa tangkapan yang memanjakan mata.

Terpenting, semuanya dilakukan secara kontuniti. Entah itu visi estetika filmnya, aksi penggaet atensi pula deretan karakter dengan kepentingan pribadi masing-masing yang dimainkan dengan penuh intrik. Phantom pun turut menyentuh ranah queer yang tersirat dalam dua karakter utamanya. Ketika karakternya berbicara mengenai akan berhenti merokok selepas merdeka, kalimat "merokok akan jauh lebih enak pada masa itu" menyusul setelahnya. Kurang lebih Phantom pun demikian, perlahan menuntut sebuah kesabaran dan kesenangan yang lebih akan di dapat setelahnya.

SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar