Memanfaatkan kesuksesan Makmum (yang sudah menghasilkan dua film sementara film pendeknya melanglang buana mendapatkan penghargaan), Khanzab bak sebuah usaha aji mumpung yang meski jika ditilik lebih dalam lagi premisnya sendiri menarik. Timbul sebuah keingintahuan yang lebih dalam mengenai sosok jin yang mengganggu orang salat ini, setelah sebelumnya hanya sebatas tempelan belaka di dwilogi film sebelumnya. Sayang, harapan itu pupus, karena sejatinya Khanzab mengulang kesalahan yang sama.
Rahayu (Yasamin Jasem) harus menerima cibiran dari masyarakat sekitar terkait statusnya sebagai anak dari Semedi (Rizky Hanggono) yang merupakan seorang dukun pengobatan alternatif (meski kebanyakan disebut dukun santet). Ia tinggal bersama sang ibu tiri, Nuning (Tika Bravani) di sebuah ruko peninggalan sang ayah, ditengah rumah masa kecilnya yang kini dijadikan musala.
Selain harus berhadapan dengan masyarakat sekitar yang kerap bersifat sinis, Rahayu pun belakangan sering diganggu oleh khanzab, terlebih setelah ia melaksanakan salat di musala Al-Makmum (sebuah homage cukup cerdik). Gangguan yang makin intens itu perlahan kembali membuka masa lalu sang ayah yang merupakan salah satu dukun santet, korban pemenggalan oleh seseorang yang berpenampilan bak ninja pada tahun 1998 di Banyuwangi.
Ditulis naskahnya oleh Dirmawan Hatta (Mangkujiwo, Mumun) bersama Anggy Umbara (turut merangkap sebagai sutradara), Khanzab terjebak pola repetitif di mana kebanyakan teror terjadi pada saat karakternya melakukan salat. Misalnya Rahayu, ia masih ngotot melaksanakan salat setelah sebelumnya melihat kejanggalan selepas seorang pria kabur begitu saja. Pun, pola ini terus berulang di waktu yang lain pula di hari berikutnya.
Ini menandakan bahwa penulisnya amat malas. Ketiadaan skema teror sebatas ditempatkan pada karakternya melaksanakan salat (ini terjadi juga pada karakter lain selain Rahayu). Pun, ketika pola itu perlahan dikesampingan, muncul sebuah bahasan baru yang sejatinya kurang koheren dan seolah mengkhianati rules filmnya (ini kentara menjelang dan konklusi filmnya).
Seperti kebanyakan di film sebelumnya, Anggy Umbara adalah salah satu sutradara yang menggebu-gebu terkait konsep, pun harus saya akui beberapa diantaranya cukup cerdik-meski pada penerapannya terkadang bertolak belakang dan sebatas menang di konsep. Demikian pula dengan Khanzab, yang mempunyai setumpuk potensi (salah satunya terkait mitologi) yang justru terabaikan oleh ambisi melahirkan tontonan berani yang turut menyentil salah satu pelanggaran HAM terbesar ini.
Ambisi yang dilakukan Anggy diikuti oleh scoring film ini yang menggelegar dan memekakan telinga (termasuk juga adegan yang tak menampilkan penampakan) yang konsisten di sepanjang durasi. Saya bisa saja memaafkan kualitas CGI film ini atas dasar budget, tetapi tidak dengan scoring yang amat mengganggu konsentrasi. Setidaknya, tata artistiknya tampil mumpuni yang terkadang di dominasi oleh warna hijau (bisa jadi efek karya Dee Company sebelumnya, termasuk salah satu penulisnya, tak lain dan tak bukan Mumun).
Memasuki paruh kedua, Khanzab kembali melempar bahasan lain seputar masa lalu Semedi yang ternyata turut melibatkan beberapa pihak. Sekilas anatoginisasi pula antitesis terhadap agama beberapa kali dilempar, menjadi percuma tatkala filmnya di sisi lain turut melahirkan deretan khotbah yang menggurui dengan segala bentuk dan pembawaan sinetron-ish miliknya.
Beruntung, Khanzab masih memiliki pemain yang dari awal hingga akhir tampil konsisten meski narasi sempat mengeliminasi bakat apik mereka. Tika Bravani tetap piawai dalam hal olah emosi meski absen selama enam tahun, Yasamin Jasem makin memantapkan dirinya sebagai maskot film horror masa kini hingga Arswendy Bening Swara adalah jaminan mutu tanpa cela.
Meski tak sepenuhnya sebuah bencana, beberapa jumpscare yang dihasilkan oleh Khanzab mampu menyulut sebuah ketakutan tersendiri (akibat kedekatan representasi) dalam hasil yang hit and miss. Potensinya terkubur dalam andai para pembuatnya paham bagaimana merangkai sebuah jalinan narasi tanpa harus mengambil jalur curang dengan melipatgandakan sebuah twist yang hanya ingin terlihat keren-malah menimbulkan sebuah inkonsistensi akan kebingungannya sendiri.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar