Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - WINNIE-THE-POOH: BLOOD AND HONEY (2023)

 

Setelah berakhirnya hak cipta Amerika atas karya fenomenal buatan AA Milne (meski sebagian besar IP masih dipegang oleh Disney), tak ada yang menyangka bahwa dongeng yang selalu menghantarkan kita sewaktu tidur dan kemudian menemani masa kecil berubah menjadi suguhan liar yang seolah mengembalikan sang karakter ke fitrahnya. Ialah Rhys Frake-Waterfield (turut merangkap sebagai penulis naskah) sutradara yang bertanggung jawab atas terciptanya sisi lain dari berung dan anak babi yang nyatanya tak selucu dan semenggemaskan dulu.


Dibuka oleh sekuen yang menampilkan narasi dalam balutan animasi, alkisah, Christopher Robin muda (versi dewasa diperankan oleh Nikolai Leon) berteman dengan para binatang:Pooh si beruang, Piglet si babi, Eeyore si keledai, kelinci hingga burung hantu. Robin selalu menyelinap ke dapur dan membawakan mereka makanan. Beranjak dewasa, Robin kemudian memutuskan untu berkuliah dengan mengambil jurusan kedokteran, meninggalkan sahabatnya yang perlahan-akibat musim dingin yang panjang mulai kelaparan.


Semenjak itu, Pooh dan Piglet kemudian tak mempercayai manusia, berhenti untuk berbicara dan membunuh Eeyore hanya untuk mengobati rasa laparnya. Jangan tanyakan transformasi dari hewan ke setengah manusia yang justru hanya akan membuat anda pusing terhadapnya, Winnie-the-Pooh: Blood and Honey adalah murni sajian thriller-slasher yang tujuannya hanya sebatas untuk bersenang-senang atas nama hiburan dengan mengenyahkan segala macam tetek bengek penceritaan, akting maupun departemen lainnya. Terpenting, pertanyaan sebenarnya ialah "Seberapa gila filmnya?".


Lima tahun berselang, Christopher Robin kembli bersama tunangannya, Mary (Paula Coiz) yang berniat untuk menyambangi teman masa kecilnya di 100 Acre Wood yang justru mendapati kenyataan bahwa semuanya telah berbeda. Pooh (diperankan Craig David Dowsett dalam balutan topeng prostetik) dan Piglet (diperankan Chris Cordell) adalah pembunuh berantai yang tak segan menghilangkan nyawa manusia.


Dari sini, Winnie-the-Pooh: Blood and Honey bergerak generik di mana sebagian durasi dihabiskan untuk memperlihatkan potongan tubuh dengan cara pembunuhan yang cukup keji mengikuti sekelompok mahasiswa yang tengah erlibur di sebuah tempat di dekatnya. Terkesan oldskull memang, namun apa yang ditampilkan sejatinya memberikan sebuah kepuasan dalam balutan kengeringan yang tak tanggung-tanggung.


Beberapa diantaranya mungkin tampil off-screen, meski tak sedikit pula yang mampu membuat penontonnya menutup mata. Pooh bisa berubah menjadi Jason Vorhees maupun Candyman dengan lebah yang selalu mengikutinya. Entah ini bentuk sebuah penghormatan atau bukan, Waterfield jelas banyak terinspirasi dari tontonan slasher yang mengiasi awal hingga pertengahan tahun 80-an dengan sedikit sentuhan modernisasi yang tak seberapa membantu.


Diceritakan, sekelompok mahasiswa tersebut dipimpin oleh Mary (Maria Taylor) yang tengah mengobati trauma pasca seorang penguntit hampir saja melecehkan tubuhnya. Elemen ini sejatinya hanya sebatas hiasan sekaligus penegasan bahwa Maria adalah sang final girl sesungguhnya, meski seiring berjalannya durasi, dengan dialog klise sana-sini, Waterfield memberikan sebuah kejutan lagi yang mungkin tak seberapa, namun seolah mengembalikan cerita tanpa harus melupakan fitrahnya.


Konklusinya mungkin terlampau singkat dengan beberapa kebetulan (meski pernah di tease sebelumnya) yang terlampau menggampangkan. Winnie-the-Pooh: Blood and Honey benar merupakan sajian penuh kekurangan yang terasa bak sebuah aji mumpung belaka. Namun, apa yang diharapkan dari tontonan yang sedri awal sudah terang-terangan mengatakan bahwa semuanya atas nama hiburan? Dari sini kesempurnaan dan kejelasannya perlahan ditangguhkan.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar