Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - VIRGO AND THE SPARKLINGS (2023)

 

Sebagai film ketiga dari Jagat Sinema Bumilangit, Virgo and the Sparklings jelas memberikan sebuah perubahan signifikan. Jika Gundala (2019) dan Sri Asih (2022) membawa nuansa gelap dan kelam dalam latar belakangnya, lain halnya dengan yang satu ini, yang tampil lebih ringan dan sangat remaja. Singkatnya, Virgo and the Sparklings adalah sebuah pembeda (bukan berarti tak menjadi sebuah kontuniti) yang memberikan sebuah angin segar dalam franchise-nya.


Diangkat dari webtoon karya Annisa Nifsihani dan Ellie Goh berdasarkan karakter ciptaan Jan Mitarga, kisahnya sendiri ialah mengenai Riani (Adhisty Zara), remaja SMA yang terpaksa harus berpindah-pindah sekolah karena sering mengakibatkan kekacauan akibat belum mampunya ia mengontrol api yang selalu keluar dari tangannya. Pindah sekolah untuk kesekian kalinya, ia kemudian berteman dengan Ussy (Satine Zaneta), Monica (Ashira Zamita) hingga Sasmi (Rebecca Klopper) dan membentuk sebuah band bernama "The Virgos" berkat kesamaan bintang masing-masing. Riani sang vokalis, Ussy si kibordis, Monica si drumer hingga Sasmi sang manajer kemudian mengikuti kompetisi band setempat.


Kekhawatiran sempat muncul tatkala masing-masing dari mereka takut identitas terungkap (orang tua tak menyetujui keinginan masing-masing), yang kemudian mereka tutupi dengan topeng. Dalam kompetisi, rival mereka adalah Scorpion Sisters, band idola yang dipimpin oleh Carmine (Mawar de Jongh) yang menyimpan perasaan kepada Leo (Bryan Domani), si fotografer yang selalu ia andalkan. Namun, seperti yang kita tahu, Leo malah lebih tertarik kepada Riani.


Ditulis naskahnya oleh Rafki Hidayat (Kafir, Makmum 2) bersama Johanna Wattimena (Teman Tapi Menikah, The Big 4), Virgo and the Sparklings berisikan dunia remaja dengan segala permasalahannya yang kompleks. Keinginan yang bersebrangan dengan orang tua, proses pencarian jati diri, romansa hingga keinginan untuk menyelamatkan dunia yang mana selalu diembam oleh orang tua mereka lakukan, semuanya ditampilkan, meski pada kenyataannya naskahnya cukup kewalahan dalam merangkum aspek tersebut, yang membuat filmnya tampil penuh sesak tanpa adanya sebuah bobot yang lebih berarti.


Selain dapat mengeluarkan percikan api di tangannya, Riani juga dianugerahi kemampuan lain, yakni sinestesia. Dalam sebuah adegan di sekolah hingga tatakala ia berjalan menapaki lorong, Riani dapat melihat warna suara layaknya sebuah gelemung, ia bahkan bisa mendeteksi perasaan seseorang, yang dapat membedakannya ketika ia berbohong atau tidak. Sayang, naskahnya urung memberikan eksplorasi lebih terkait elemen ini-yang sebatas menempelkannya sebagai sebuah keharusan alih-alih keinginan memperkaya pemceritaan.


Pun, demikian dengan pengadeganan Ody Harahap (Orang Kaya Baru, Sweet 20, Hit & Run) yang gagal menafsirkan momen tersebut untuk terasa spesial. Bukan berarti buruk, namun apa yang ditampilkan teramat biasa dengan pencapaian yang seharusnya dapat tampil lebih maksimal. Biarpun begitu, Ody tahu betul bagaimana menjaga Virgo and the Sparklings supaya tetap berwarna lewat pengarahan cepat, termasuk dalam sekuen aksi, yang akan menjaga mata penonton untuk tetap terbelak, diikuti dengan beberapa daya hibur miliknya yang akan dengan mudah dicerna.


Di saat yang bersamaan, seisi kota dihebohkan oleh kesurupan massal yang dialami oleh anak muda setelah menonton sebuah video musik. Efeknya sendiri tampil domino, di mana mereka mulai menganiaya hingga menyiksa orang tua. Komparasi yang memberikan sebuah pemaknaan lebih bagi background sang villain hingga secara luas bagaimana kerenggangan hubungan antara anak-orang tua kerap ditemui yang kebanyakan diakibatkan dalam sudut pandang sekaligus pola pemikiran yang bersebrangan.


Mengetahui kekuatan apinya dapat membuat orang-orang yang kesurupan sadar, Riani kemudian bertekad membereskan semuanya yang malah justru menyebabkan deretan konflik bersama teman-temannya sekaligus orang tuanya yang dari sini menyebabkan sebuah kecacatan terkait pola penulisan (baca: karakterisasi) yang serba instan dan kurang koheren jika diaplikasikan. 


Turut diperparah dengan penyuntingan filmnya yang menyebabkan sebuah transisi kasar. Virgo and the Sparklings memiliki progresi alur yang melompat-lompat berkat ketiadannya sebuah jembatan penghubung antar adegan. Disusul kemudian dengan tata suara yang di beberapa adegan terdengar mendem, yang bisa saja disebabkan oleh kurangnya artikulasi pemain maupun belum cakap hingga pekanya sang sutradara mengolahnya.


Walaupun demikian, deretan nomor musikal seperti Sahabat Angin hingga Salah mampu berjalan lancar tanpa adanya sebuah kendala, semakin menyenangkan kala performa para pemainnya memang terlihat meyakinkan. Wajar, masing-masing dari mereka telah atau bahkan tengah menggeluti dunia musik. Zara memberikan performa likeable sebagai pahlawan remaja, meski yang paling mencuri perhatian disini alah Ashira Zamita serta Satine Zaneta, yang dalam film pertamanya secara mengejutkan memberikan sebuah performa yang sukar dilupakan. Ashira dengan kemampuan comedy timing-nya yang tepat sasaran, Satine dengan kepekaan menyikapi situasi sebagaiman bakat turunan yang dimiliki sang ayah (Abimana Aryasatya). Keduanya mempunyai masa depan cerah, selama jeli dalam memilih naskah.


Untuk ukuran sebuah film yang mengandalkan suara dan musik sebagai bagian paling penting, Virgo and the Sparklings sayangnya tak dibekali konklusi yang memanfaatkan elemen itu. Momen puncaknya sendiri terbilang lemah, meski tampil menyenangkan lewat beberapa kekacauan yang dilipatgandakan. Keinginan untuk melihat battle antara Virgo dan sang villain, seketika hilang akibat eksekusinya yang tak menuntut lebih, sekedar dibiarkan begitu saja. Padahal motivasi sang villain sudah jelas, yang barangkali akan lebih relatable berkat latar belakangnya yang cukup kelam dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yakni pengaruh pola asuh keluarga/orang tua yang bisa saja memberikan sebuah dampak yang krusial.


Saya menyukai keseluruhan Virgo and the Sparklings dalam kacamata tontonan sebagai hiburan, tetapi cukup menyayangkan bagaimana filmnya yang selalu memiliki keunggulan turut pula dibarengai dengan kelemahan yang senantiasa mengikuti perjalannanya. Ini memang bukan sebuah lonjakan kualitas, pun kemunculan dua karakter ikonik dalam Jagat Sinema Bumilangit sebatas memberikan teriakan histeris tak mampu menutupi kekurangan atas potensi yang dibiarkan begitu saja.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar