Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - WAKTU MAGHRIB (2022)

 

Waktu Maghrib menandai debut film panjang pertama seorang Sidharta Tata (sebelumnya menggarap segmen The Protocol dalam Quarantine Tales hingga beberapa series), sineas asal Yogyakarta yang sangat potensial berkat kepekaannya dalam memadukan narasi pula memberikan relevansi. Waktu Maghrib pun demikian, seolah mengingatkan kembali bahwa dalam masyarakat kita, unsur mistisme berupa larangan untuk keluar di waktu maghrib sangat beresiko, karena di sanalah para makhluk halus mulai keluar.


Seolah menegaskan hal itu, hadits dan sunnah nabi pun demikian (dimuat dalam pembuka filnmnya) yang kemudian dilanggar oleh dua karater utama kita, Adi (Ali Fikry) dan Saman (Bima Sena) yang memilih meninggalkan sholat maghrib demi menonton pertunjukan wayang di kampung sebelah, pun peristiwa sebelumnya sangat menyiksa bagi mereka, ketika Saman yang selalu lalai mengantarkan madu dan mendapat hukuman dari sang kakak, Samiun (Kevin Abani) yang menyebabkannya telat ke sekolah dan kemudian di hukum oleh Bu Woro (Aulia Sarah), sang wali kelas.


Siapa sangka sumpah serapah sepele antara Saman dan Adi berujung membawa malapetaka di sekitarnya, sekaligus kembali membuka sebuah peristiwa 30 tahun lalu yang menimpa pada Karta (Andri Mashadi), pria misterius yang memutuskan untuk tinggal di pedalaman hutan. Terdengar seperti sebuah premis yang menarik bukan? Waktu Maghrib sejatinya memiliki peluang untuk memberikan elaborasi lebih alih-alih sekedar memantik, dan kemudian memilih jalan pintas bernama simplifikasi.


Tak sepenuhnya buruk memang, Sidharta Tata memberikan sebuah angin segar bernama kebrutalan, menekan penceritaan ke ranah ekstrim seKaligus ditengah fokus karakter utamanya merupakan para bocah SMP, ada jari yang putus, hewan terpotong hingga penampilan kesurupan yang terasa meyakinkan berkat tata rias mumpuni pula performa para pemain, utamanya Ali Fikry dan Bima Sena yang begitu mencuri perhatian, terlebih kala mereka berdialog dengan aksen bahasa Jawa yang terasa kejawaannya.


Terkait eksplorasi lokasi, Waktu Maghrib memberikan jangkauannya secara luas, melebarkan penceritaan sekaligus memberikan tempat baru bagi tumpahnya darah atau kejadian janggal, rumah, warung, sekolah, kuburan, hutan, hingga sungai menjadi saksi bisu terciptanya beragama scary imageries pula kejanggalan para karakternya.


Waktu Maghrib memiliki build-up yang kuat di paruh awalnya, hingga diruntuhkan seketika oleh pay-off yang begitu lemah, bahkan tak jarang hanya sebatas repetisi deretan jump scare di mana sang hantu hanya sebatas menakuti dengan menampilkan wajah buruknya. Pun, yang lebih sangat disayangkan adalah scoring-nya yang seolah memberikan pemanasan, yang kemudian tampil sesuai harapan.


Tengok adegan yang melibatkan "pulpen jatuh" yang entah dua atau tiga kali kita saksikan di layar, melihat wajah panik dan ketakutan Ayu (Nafiza Fatia Rani), teman sekelas Adi dan Saman serta murid kesayangan Bu Woro, filmnya sendiri seolah lupa atau tak punya trik lain guna menakuti penonton, benar niatnya ingin memberikan sebuah peringatan yang malah berujung pada sebuah kesan pengulangan yang nihil sebuah dampak signifikan.


Ditulis naskahnya secara keroyokan oleh Sidharta Tata, Khalid Kashogi, Agasyah Karim, hingga Bayu Kurnia, Waktu Maghrib malah sedikit melenceng dan memilih jalur aman seiring hadirnya karakter baru dalam wujud guru pengganti bernama Bu Ningsih (Taskya Namya), menghentikan sebuah kontuniti tatkala dua karkter utamanya berhenti dieksplorasi. Pun, tatkala memberikan perhatian penonton ke karakter lain, transisinya teramat menggampangkan.


Konklusinya kembali menjadi persoalan, ketika Waktu Maghrib terasa bak sebuah anti-klimaks. Saya tak membenci sebuah film yang menampilkan sebuah twist selama itu diolah secara baik, sayang, ini tak menimpa pada filmnya sendiri. Waktu Maghrib pun lupa memberikan perhatian lebih pada judulnya, ini bahkan bisa diganti dengan judul lain tanpa memperhatikan sebuah aturan yang jelas terasa abu-abu, utamanya bagi modus operandi sang antagonis itu sendiri. Bukan sepenuhnya film yang buruk, tetapi potensi untuk tampil lebih terbuka sangat lebar, sederhanya memberikan sebuah kejelasan pada jin yang bernama Ummu Sibyan.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar