Apa yang anda harapkan dari tontonan semacam Plane? Barisan bencana dan aksi bertahan hidup bukan? Atau sekedar ingin melihat Gerard Butler? Bagi yang datang untuk kedua alasan diatas, Plane jelas akan memenuhi ekspetasi anda tanpa pernah membuatnya merasa kecewa, sebaliknya bagi yang mencari diluar dua alasan diatas, Plane mungkin takkan seberapa spesial, mesikpun ini jelas tipikal film kelas B yang mengedepankan hiburan alih-alih penceritaan.
Gerard Butler berperan sebagai Brodie Torrance, pilot yang sempat tersandung kasus kekerasan terhadap penumpang dan kini bekerja di jalur komersial. Ia tinggal di Singapura dan hendak membawa pesawat Trailblazer 119 dengan tujuan utama ke Tokyo. Penerbangannnya sempat mengalami penolakan dikarenakan penumpang yang hanya berjumlah 14 orang di tengah hari pergantian tahun baru. Seolah mengamini judulnya, pesawat yang mereka tumpangi nantinya akan mengalami turbulensi, tambahkan kehadiran Louis Gaspare (Mike Colter), tersangka kasus pembunuhan yang dikawal dan diborgol oleh seorang detektif.
Tak butuh waktu lama guna Plane menampilkan sajian utamanya, dari sini keresahan mulai melimpah ruah, pun kamera menyoroti beragam ekspresi penumpang secara bergantian yang semakin parah tatkala munculnya beberapa korban. Sayang, momen yang diharapkan untuk tampil lama hanya berjalan sambil lalu, karena itu sejatinya bukan sajian utama Plane.
Meski terkadang terasa melelahkan di paruh awal, Plane kemudian menampilkan ancaman lain berupa kehadiran anggota separatis penolak pemerintah di Filipina disaat pesawat baru saja mendarat selamat dari bencana. Sutradara Jean-François Richet (Blood Father, L'instinct de mort) ingin tak berlama-lama dalam memberikan sajian aksinya, meski transisi kasar pula keputusan bodoh harus dilalui para karakternya.
Deretan aksinya memang jauh dari kesan baru, tapi mampu menyulut atensi dengan gerakan serba cepat pula penggunaan teknik close-up yang memberikan sebuah ketegangan, meski seiring momen tersebut dieksploitasi kentara terasa memudar. Richet tahu betul apa yang penonton inginkan, yakni Butler dan Colter dengan machismo-nya melawan para musuh dengan sekali tindakan.
Akibatnya, beberapa momen potensial lain, sebutlah kehadiran sang ko-pilot, Samuel Dele (Yoson An) terpinggirkan-setelah sebelumnya dikenalkan secara sepintas. Demikian pula dengan para penumpang yang kehilangan fokus, sebatas dijadikan damsel in distress tanpa pernah diberikan bobot lebih. Sedikit tricky memang, ketika kemunculan pertama mereka sengaja diberikan sebuah penekanan lebih.
Konklusinya mengambil jalur aman, dan itupun yang diharapkan penonton nantinya. Bukan sebuah kesalahan maupun hal yang patut untuk diperdebatkan, karena dari titik ini, Plane sudah menjalankan tugasnya secara baik. Masalah suka atau tidaknya kembali pada tujuan utamanya film ini dibuat, yang sebatas memberikan pelepas dahaga penat tanpa mempeributkan segala kaidah dan tuntutan yang harus dilakukan. Sinema memang serelatif itu.
SCORE : 3/5
0 Komentar