Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - THE OFFERING (2022)

 

Bergerak di ranah oldskul, The Offering yang merupakan karya panjang pertama sutradara Oliver Park seketika akan banyak mengingatkan anda pada The Omen (1976) hingga sentuhan Hereditary (2018) bahkan sedikit homage bagi The Autopsy of Jane Doe (2016). Saya tak menyalahkan apabila keputusan tersebut memang sengaja diambil, terpenting bagaimana sebuah trope tersebut punya lajurnya masing-masing dengan mengikuti semangat inspirasinya.


Mengetengahkan mistisme dari budaya dan agama Yahudi, The Offering dibuka dengan tanpa basa-basi, sektika masuk ke sebuah inti sembari memberikan sebuah rujukan bahwa filmnya akan menjamah sebuah mitologi kuno yang dimulai sejak abad 1 Masehi, di mana kepercayaan masyarakat Timur hingga Eropa mengenai roh jahat bernama Abyzou, sosok iblis yang bertanggung jawab atas keguguran dan kematian anak bayi baru lahir, singkatnya ia dijuluki "The Taker of Children".


Kisahnya sendiri mengenai kepulangan Arthur (Nick Blood) ke rumah masa kecilnya yang turut memboyong sang istri non-Yahudi, Claire (Emily Wiseman) yang tengah hamil. Hendak melakukan rekonsiliasi dengan sang ayah, Saul (Allan Corduner) yang begitu agamis, kedatangan mereka justru memberikan sebuah ancaman baru setelah hadirnya mayat pria yang bunuh diri menambah pasien otopsi mereka, sekaligus fakta kedatangan Arthur yang memiliki tujuan khusus.


Premisnya sendiri terbilang formulaik, dan Oliver Park sadar akan hal itu. Selanjutnya ia melakukan sebuah modifikasi dengan menempatkan sudut kamera low key dengan pacing yang begitu lambat. Hasilnya bak sebuah pisau bermata dua, adakalanya tepat sasaran, namun tak jarang pula bak sebuah usaha sarat kemalasan. Alhasil, guna meregulasi hal tersebut, The Offering selanjutnya bergantung pada sebuah jumpscare yang terkadang berakhir fluktuatif.


Saya menyukai usungan pesan relevannya di mana elemen religiusitas menjadikan seseorang buta akan bentuk kepercayaan itu sendiri, terlebih kepercayaan akan diri hingga sosok orang tercinta dan menyerah begitu saja dengan alasan takdir. Itulah salah satu kebencian Arthur terhadap sang ayah ketika membiarkan sang ibu sekarat begitu saja. Sayang, konfrontasi keduanya amat disepelekan, dan momen yang seharusnya menjadi sebuah titik balik sebatas berjalan sambil lalu.


Deretan penampakannya jauh dari kesan baru, meski saya menyukai beberapa keputusan Park, diantaranya ketika melibatkan sorot lampu, sebuah momen sederhana namun cukup efektif menyulut sebuah kengerian. Sisanya, The Offering bahkan seolah kehilangan cengkraman, pun penantian dari jumpscare-nya pun terbilang repetitif.


Sangat disayangkan ketika naskah hasil tulisan Hank Hoffman (The Intervention) atas cerita dari sang produser, Jonathan Yunger, memilih jalan pintas dalam menutup kisahnya yang seolah terlihat seperti diperumit dan berbelit-belit. Mungkin keputusan itu menurutnya dianggap cukup pintar, hingga lupa akan fakta bahwa filmnya sendiri sedari awal banyak melalukan sebuah pengekoran yang meski tak signifikan, namun terasa nyata. Apa boleh dikata?.

 

SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar