Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - QALA (2022)

 

Qala selaku karya kedua penulis-sutradara Anvita Dutt (Bulbbul) masih berbicara soal perempuan dari sudut pandang perempuan yang kerap diasingkan. Berlatar pada tahun 1930-an, protagonis kita bernama Qala (Tripti Dimri) yang semenjak kecil amat dibenci oleh ibunya, Urmila (Swastika Mukherjee) karena sebagaimana yang dokter ucapkan, ia telah memakan nutrisi saudara kembarnya yang merupakan seorang laki-laki. Urmila bahkan hendak mencekik anaknya dengan alasan kecewa akan penerus masa depannya.


Urmila adalah seorang penyanyi musik Ghazal, dalam keputusasaannya ia membimbing Qala dengan cara laki-laki, bahwasannya ia harus lebih daripada laki-laki. Hingga sebuah pementasan pertama Qala diselenggarakan di depan produser, Urmila jatuh cinta dengan suara sang rival, Jagan (Babil Khan, putera mendiang Irrfan Khan) yang memiliki suara emas, layaknya masa depan yang ia inginkan. Tak butuh waktu lama untuk Urmila turut memboyong serta Jagan ke rumahnya di Himachal.


Qala yang hidup dalam tekanan menemukan kecemburuan dan ambisi lain dari dalam dirinya, dari sini isu seputar toxic parenting mengambil alih yang semakin melekat kala secara perlahan Anvita menekan karakternya pada sebuah kondisi terkelam, moralitas ditiadakan demi terciptanya sebuah keinginan buta yang secara tak disadari turut menerima isu seksisme, yang semula karakternya hindari. Bisa dipahami, meskipun tidak bisa dibenarkan. Ini hanyalah perihal keadaan yang membuka sisi jahat bernama manusia.


Ironis memang, namun nyata adanya. Qala mendekati gaya Darren Arronofsky di Black Swan di mana seiring durasi berjalan kepahitan yang bernama realita terus digerus seiring karakternya terbutakan oleh keinginan yang mendalam. Tripti Dimri melakukan sebuah transformasi yang elegan, menyayat bahkan mengerikan di saat bersamaan. Sementara Swastika Mukherjee memancarkan aura intimidatif lewat sorot matanya saja, debut perdana Babil Khan tidak mengecewakan, meskipun karakternya tak terlalu dominan.


Departemen artistik Qala patut diacungi jempol. Nuansa dingin, suara ngengat hingga petikan alat musik dan dentuman musiknya terdengar begitu lirih, seumpama musik Ghazal yang kerap diisi oleh barisan sajak kehidupan. Seiring karakternya dihantui oleh kesalahan bernama masa lalu, perlahan terbuka sisi kelam seseorang yang coba dilupakan demi mendapatkan sebuah pengakuan. Pun, meski Golden Vinyl telah ia dapatkan, tak dapat membayar sebuah ketakutan yang tak terelakkan.


Konklusinya membawa sebuah narasi baru terkait kesehatan mental dengan cangkang drama psikologis, yang harus diakui cukup ampuh dimainkan oleh Anvita Dutt. Meski di saat bersamaan pula, tersimpan sebuah pesimistis dalam sebuah penuturan yang dipaksa untuk menyuarakan. Qala memang tak sempurna, tetapi berhasil menggambarkan sebuah ketakutan yang nyata saat seseorang merasa tak berdaya bersama setan dalam diri bernama manusia.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar