Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - TRIANGLE OF SADNESS (2022)

 

Everyone's Equal. Demikian tulisan yang terpampang jelas di sebuah dinding pelataran catwalk, di mana protagonis kita, Yaya (Rest in Peace, Charlbi Dean) adalah salah satu modelnya. Pun, sebelum kita tiba pada momen tersebut, sang kekasih, Carl (Harris Dickinson) tengah mengikuti casting model, pengarah meminta Carl untuk berpose dengan senyuman yang ia sebutkan dengan H&M (baca: murah), sementara pose tanpa ekspresi ia sebutkan dengan Balenciaga (baca: mahal), seolah perlambang pangsa pasar keduanya.


Triangle of Sadness menandai sekaligus menambah jajaran nama (dari daftar sembilan nama) bagi seorang sutradara yang dua kali menyutradrai film pemeng Festival Palme d'Or. Jika The Square (2017) mengharumkan nama Ruben Östlund di kancah tersebut, maka Triangle of Sadness seolah memantapkan bahwa sutradara satu ini jangan dianggp remeh. Sebelumnya ia melempar kritisi terhadap industri seni, kini giliran orang borjuis ber-privilage yang dengan agung menyuarakan kesetaran, tanpa pernah berupaya menerapkan apa yang tengah diucapkan.

 

Babak pertama diberi tajuk Carl & Yaya. Menyoroti sepasang kekasih yang masing-masing merupakan seorang model. Makan malam membuat keduanya bertengkar, pasca Carl selalu merasa bahwa Yaya enggan membayar tagihan, padahal sebelumnya telah terjadi kesepakatan pun fakta mengatakan bahwa gaji Yaya tiga kali lipat lebih besar daripada Carl. Sekilas apa yang dilakukan Carl terdengar logis, namun Ruben Östlund menggiring penonton pada fakta bahwa yang terlihat jujur dan logis, tak seutuhnya suci maupun sempurna.

 

Östlund yang juga turut menulis naskahnya melempar beragam kritikan baik itu secara sarkas maupun jelas. Tak hanya sebatas dialog, kita pun turut dibawa memperhatikan tingkah para borjuis yang seolah memegang tinggi kekuasaan. Ada seseorang yang secara terbuka mengatakan bahwa hasil kekayaannya datang dari penjualan kotoran. Ada pula yang secara bangga mengatakan bahwa kekayaannya berkat pabrik granat tangan. Demikian pula dengan seorang pria yang mengatakan bahwa kekayaannya berasal dari kesendiriannya.

 

Itu terjadi di babak dua (The Yacht) di mana Carl & Yaya yang datang berkat endorsement (Yaya merupakan influencer) turut bergabung dengan para borjuis lainnya. Dalam salah satu adegan, salah satu tamu berujar bahwa "kecantikan membayar segalanya". Carl sempat cemburu kepada seorang pria (tepatnya pekerja) yang bertelanjang dada yang disebut oleh Yaya seksi. Ia langsung melapor, dan sang pegawai seketika dipecat di saat itu juga.

 

Di samping kehidupan para pemegang kepemilikan, ada pula para karyawan yang dengan lantang mengharapkan tip besar. Di saat bersamaan pula, salah satu tamu bernama Vera (Sunnyi Melles) meminta seorang pegawai bertukar peran, untuk sekedar berendam. Semenatara kebingungan pun diutarakan sang karyawan, antara keinginan dan tuntutan yang mengharuskannya memilih. Orang kaya mungkin tidak pernah berpikir demikian. Kontras sebuah komparasi nyata dua manusia yang berbeda sudut pandang, kepemilikan bahkan kepentingan.

 

Tibalah kita pada sebuah momen makan malam yang diadakan oleh sang kapten kapal, Thomas (Woody Harrelson) yang secara terang-terangan mengaku sebagai seorang komunis. Makan malam yang diharapkan akan penuh dengan kedamaian, berkelas dan mahal malah berujung pada sebuah olok-olok pasca sebuah peristiwa besar terjadi. Peristiwa yang membawa Östlund menelanjangi dan menghukum perbuatan para karakternya. Chaotic, berani hingga jorok ditampilkamn secara tak malu-malu, berjalan cukup lama, saya pun malah tak keberatan apabila durasinya ditambahkan.

 

Hingga tibalah kita pada babak pamungkas (The Island) yang seharusnya dapat menjadi sebuah penebusan yang selayaknya sekaligus mewadahi pemikiran sebenarnya. Östlund sedikit tersandung terhadap ide liarnya yang tak terfasilitasi durasi untuk menjawabnya, yang terkendala keinginan untuk tampil setara justru menyesatkannya pada sebuah sudut pandang yang diniati berimbang. Ia mengatakan bahwa hidup tak hanya sekedar hitam dan putih, seolah membantah apa yang sebelumnya ia terapakan. Triangle of Sadness nyaris semerawut apabila tanpa kehadiran para pemain yang berhasil mentransfer peran, mereka piawai mendeskripsikan "segitiga kesedihan" yang berpangkal diantara dua alis dan hidung. Pun, saya tak menutup fakta bahwa hasil akhir filmnya merupakan kerutan diantaranya.

 

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar