Jika Dua Garis Biru (2019) membahas seputar kehamilan remaja, Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2021) adalah romantika yang menyerempet pada hubungan insect, maka Like & Share adalah wujud kegamangan dan keresahan remaja awal pada saat mereka mulai menginjak usia pubertas. Gina S. Noer selaku sutradara sekaligus penulis naskah kembali membawa hal yang tabu ke layar, memberikan sebuah pandangan yang sebenarnya alih-alih kerap dijadikan sebagai dalih yang tak pantas untuk diperbincangkan.
Lisa (Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana) adalah sahabat dekat yang membuat konten ASMR di YouTube. Baik Lisa maupun Sarah beranggapan bahwa video ASMR dapat memberikan ketenangan. Sementara menurut ibu Lisa (Unique Priscilla) ketenangan hanya didapat ketika shalat dan ngaji. Di satu kesempatan, Lisa disuruh ngaji, sementara Lisa dengan lantang menjawab ia tak bisa ngaji. Tak cukup sampai di situ, ibunya pun meminta Lisa mengganti wallpaper miliknya dengan gambar Allah.
Mudah untuk sang ibu berbicara bahwa Sarah adalah pengaruh buruk bagi anaknya. Itu jelas dibantah oleh Lisa, meski kegamangan akan neraka dan apa yang telah ia perbuat menggelayuti pikirannya. Lisa tak membenci agama maupun anti terhadapnya, ia hanya terganggu oleh ibunya (meski tak sampai membencinya) yang selepas menikah lagi, merasa dirinya paling benar dalam urusan religiusitas. Sejauh ini, tak ada sutradara lokal yang berani dan lantang dalam menangkap situasi dan pemikiran yang se-relatable ini.
Sarah mengajak Lisa untuk bereksplorasi. Lisa pun menyetujui, hingga sebuah video viral di sosmed berjudul "bokep hape jatoh" menarik perhatian mereka, utamanya Lisa yang selalu penasaran dan bahkan sering memutar video tersebut, termasuk ketiga di sekolah, di saat ujian tengah dilaksanakan. Puncaknya, tatakal Lisa dan Sarah pergi ke sebuah toko peralatan kue, ia bertemu dengan Fita (Aulia Sarah), wanita yang mirip dengan video yang sering ia putar.
Sadar atau tidak, Lisa merupakan gambaran remaja yang tengah menanyakan orientasi seksualnya, pertemuan pertama dengan Fita menangkap intensi itu, pun Gina bersama sang sinematografer, Deska Binarso (sebelumnya merupakan langganan untuk pembuatan video clip Eva Celia hingga Vidi Aldiano) piawai dalam menangkap gambar. Pun, saya berani menyebut bahwa Like & Share adalah film lokal dengan audio-visual terbaik sejauh ini. Favorit saya adalah ketika pembuatan video ASMR yang ternyata jadi panggung bagi Gina untuk bermain sudut pandang dan pemikiran.
Di saat bersamaan, Sarah mulai menjalin hubungan dengan Devan (Jerome Kurnia), pria yang secara tak sengaja ia temui saat bermain sepatu roda. Hubungan Sarah dan Devan terpaut usia yang cukup jauh. Sarah 17 tahun, sementara Devan 27 tahun. Hubungan keduanya makin intens, hingga perayaan ulang tahun ke-18 mengubah 180 derajat kehidupan Sarah.
Seperti yang telah kita saksikan dan pahami lewat trailer-nya, Like & Share merupakan luapan amarah seorang Gina S. Noer. Ini amat terasa dari filmnya yang lebih berani baik itu secara adegan maupun dialog. Biarpun demikian, Gina tak lantas menjadikannya salah kaprah, filmnya memang tampil sensual, tapi jauh dari tendensi seksual. Pun, biarpun ada, adegan tersebut tak lantas diromantisasi, melainkan hanya perlu diresapi, hingga dimengerti mengapa rape culture seolah jamak terjadi.
Sebuah data menyebutkan bahwa di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual (utamanya banyak menimpa pada usia 13 hingga 19 tahun) diadukan kepada Komnas Perempuan. Mengacu pada hal itu, Like & Share merupakan wujud keresahan sekaligus edukasi bagi para remaja dan orang tua untuk selalu hati-hati dalam menyikapi hal ini. Like & Share pun berhasil memberikan itu, bahkan terlalu banyak menangkap hal itu.
Ya, salah satu kekurangan Like & Share adalah pemikiran Gina yang terlampau kaya, yang ingin menjadikan filmnya sarat akan isu seputar seksualitas yang marak terjadi. Di satu sisi hal tersebut memperkaya, contohnya adalah karakterisasi Lisa dan Sarah. Tetapi, di saat yang bersamaan pula filmnya seolah tampil penuh sesak, adegan konfrontasi dengan pria misalnya, hal itu sejatinya tidak perlu, karena filmnya sudah lantang menyuarakan hal itu, sekaligus melawan hukum yang selalu berpihak pada laki-laki dan menyalahkan perempuan.
Bukan Gina namanya jika tidak bermain dengan simbol maupun semiotika sepanjang filmnya yang mampu mengundang sebuah teori untuk membahasnya. Like & Share pun melakukan hal itu secara subtil. Rasio gambar 4:3 pun diterapkan sebagai jalan bagi filmnya terasa lebih intim, Gina pun tak segan memakai teknik close up yang mempercantik filmnya, pun pemakaian long take selalu membawa filmnya lebih dekat.
Like & Share takkan sebagus ini apabila tak disokong oleh jajaran para pemain yang tampil brilian. Aurora Ribero membuktikan bahwa dirinya adalah masa depan industri perfilman tanah air, ditmpilkannya keresahan dan kegamangan bahkan keingintahuan remaja pada umumnya. Arawinda Kirana adalah tandem yang sepadan, tak ayal chemistry keduanya begitu cair tatkala berseloroh maupun saling adu pendapat. Diluar kasus yang menimpanya, Arawinda menepis bahwa award yang diterimanya tahun lalu bukanlah aji mumpung belaka. Sementara Aulia Sarah dalam screen time terbatas miliknya membuktikan bahwa dirinya layak diberikan ruang lebih dari sekedar Badarawuhi.
Like & Share adalah tontonan yang berani sekaligus menampilkan sebuah ironi. Ironi dari masyarakat kita yang selalu judgemental dalam memandang sesuatu hal yang baru, terlebih jika itu tabu. Sudah seharusnya isu seputar seksualitas dipercantik, bukannya dianggap jorok, jijik, maupun bau layaknya sebuah ragi yang memberikan kekuatan pada adonan roti. Dari sini timbul sebuah pertanyaan. Apakah yang menurut seseorang bau berarti harus dibuang dan dilenyapkan? Bau mungkin menurut seseorang, bukan berarti demikian untuk sebagian orang.
SCORE : 4/5
0 Komentar