Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - KERAMAT 2: CARUBAN LARANG (2022)

 

Keramat (2009) adalah salah satu film lokal terseram yang pernah dibuat. Terbukti, gelar Cult pun disematkan pada waktu itu. 13 tahun berselang, Keramat 2: Caruban Larang seolah mengobati kerinduan akan subgenre found footage dengan sentuhan mockumentary, meski tak sedikit pula yang skeptis akan projek ini, terlebih kala satu-persatu cast diumumkan bagi film yang masih ditukangi oleh Monty Tiwa ini.


Monty dibantu Sergius Susanto dan Azzam Fi Rullah (alias Azzam Kalakazzam, manusia gila dibalik horor gila semisal Kuntilanak Pecah Ketuban, Goyang Kubur Mandi Darah serta Arumi dan Lidah Pocong) masih memasang gaya yang sama seperti pendahulunya, meski kali ini realisme sedikit dikesampingkan mengingat latar waktunya pun berubah, demikian dengan berkembangnya teknologi yang sudah semakin canggih.


Keramat 2: Caruban Larang mengetengahkan kisah Ajil (Ajil Ditto) bersama Keanu (Keanu Angelo) sepeninggal Ute (Lutesha) si gadis indigo yang memutuskan keluar dari kanal YouTube penelusuran mistis mereka. Demi mengembalikan citra dan kejayaannya dahulu, Ajil dan Keanu kemudian mengajak Umay (Umay Shahab), sahabat yang secara sukarela ingin membantu Arla (Arla Ailani), Jojo (Josephine Firmstone) dan Maura (Maura Gabrielle) untuk membuat film dokumenter sekaligus melakukan riset mengenai The Lost Dance untuk tugas akhir mereka.


Perjalanan ke Cirebon pun dilakukan, sanggar Caruban Larang jadi tujuan. Tetapi, kita tahu semuanya takkan berjalan sebagaimana mestinya, pun ketika diperjalanan, Umay secara tak sengaja menabrak kucing hitam, seolah pertanda buruk sebagaimana kepercayaan masyarakat kita yang masih saja digenggam.


Berangkat dari sana, Keramat 2: Caruban Larang konsisten bermain-main dengan kepercayaan dan budaya sebagaimana semangat film sebelumnya. Harus diakui, paruh awalnya cukup draggy, meski itu akhirnya tak sampai berlarut-larut kala Monty sendiri paham betul bagaimana membuat filmnya sesuai judulnya. Ditiadakanlah parade jumpscare serampangan yang digantikan dengan beragam penampakan yang tak asal tempat, ada sebuah keseraman di dalamnya yang membuat atensi penonton membuncah.


Monty seolah melipat-gandakan tindakan keseraman, sesekali ia memberikan homage maupun easter egg bagi film pertamanya yang kelewat fenomenal itu. Mulai dari penampakan hantu yang sudah kita paham betul hingga deretan scary imageries ditebar Monty secara perlahan tapi pasti. Bahkan, dalam sebuah momen yang tak melibatkan hantu pun saya dibuat harap-harap cemas (clue: close up wajah dan leher di hutan).


Lutesha adalah sang bintang utama. Keseraman dan tingkah lakunya bahkan pelafalan bahasa Jawa (meski sedikit terdengar inkonsisten) adalah aset utama film ini. Pun, di kubu bersebrangan, Keanu Angelo, yang awalnya saya skeptis terhadapnya tampil mencuri perhatian kala dibalik tingkah komedik miliknya ia memiliki hati lewat caranya tersendiri. Monty seolah menjawab bahwa pemain yang ia pilih bukan semata memanfaatkan popularitas saja.


Meski dibangun secara pelan, Keramat 2: Caruban Larang tak pernah terasa membosankan karena apa yang mereka semula canangkan, ternyata membentuk sebuah pengisahan yang jelas. Sebutlah niatan terkait riset yang benar ditampilkan, bukan sebatas tempelan sebagaimana film horor lokal belakangan itu. Barulah memasuki paruh kedua, filmnya mulai menampilkan keseraman yang sesungguhnya. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih merinding apabila membayangkan ritual Pati Geni yang mereka lakukan.


Third-act dijadikan sebagai sebuah penebusan sepadan ketika sebuah kejutan ditampilkan secara mulus oleh Monty, saya bahkan berani menyebut bahwa Keramat 2: Caruban Larang adalah film horor paling berhasil dalam memanfaatkan lokasi, timeline hingga komparasi dengan pencapaian sebelumnya yang sudah luar biasa itu. Semakin menyenangkan tatkala tingkat keseraman kembali ditampilkan dalam sebuah pengadeganan yang sederhana-tetapi ampuh dalam menebar kecemasan.


Terlebih, Keramat 2: Caruban Larang menampilkan apa yang tak pernah saya harapkan akan terjadi. Selain peran indigo yang tak sebatas generik, filmnya seolah mengatakan bahwa apa yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Kekuatan semesta memang sukar dirubah, kita hanyalah sebagian kecil dari semesta yang hanya bisa berharap tatkala ketidakberdayaan menggelayuti pikiran dan tindakan, sementara apa yang dilihat oleh mata sukar dicerna, jalan satu-satunya adalah menerima dengan lapang dan kejadian serupa takkan pernah lagi terulang.


SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar