Merupakan remake dari film berbahasa Telugu, RX 100 (2018), Tadap menandai debut perdana Ahan Shetty, putra dari Suniel Shetty (setelah Athiya Shetty yang debut bersama Sooraj Pancholi di Hero). Ahan memerankan Ishana, pemuda asuhan Daddy (Saurabh Shukla) sekaligus garda terdepan bagi politikus Damodar Nautiyal (Kumud Mishra). Bersama sang ayah, Ishan menjalankan sebuah bioskop di luar pendukung Damodar (Daddy adalah sahabat dekat Damodar, dan itu pun menurun pada sang anak).
Semuanya nampak baik-baik saja, hingga di hari perhitungan suara, datanglah Ramisa (Tara Sutaria), puteri semata wayang Damodar yang berkuliah di London. Mudah untuk menebak naskah buatan Rajat Arora (Once Upoan a Time in Mumbaai, The Dirty Picture, Kick) mempertemukan keduanya pada pandangan pertama. Ramisa mengagumi Ishana ketika sang pria menari di pidato kemenangan bahkan terang-terangan mendukung sang ayah, yang kemudian berlanjut pada pertemuan keduanya.
Mudah bagi Ishana untuk jatuh hati kepada Ramisa, mengingat ini adalah cinta pertamanya, keduanya menghabiskan waktu bersama dalam nomor trek Tere Siva Jag Mein hingga Tumse Bhi Zyada yang merupakan romantisasi hasil gairah cinta keduanya. Ishana ingin menjalin hubungan secara lebih serius, meski Ramisa kukuh menolak dan memintanya untuk tak menemuinya pasca sang ayah akan menjodohkan dan menikahkan mereka.
Sedari paruh awalnya dibuka, Tadap langsung menampilkan sebuah akibat dari cinta yang tak berbalas dan dikhianati takdir. Ahan dalam debutnya tampil tak mengecewakan, menghidupkan pria alkoholik dan haus akan cinta rupaya banyak ditampilkan dalam sinema Hindi tahun 80-an, Ahan seolah belajar dari tampilan tersebut.
Disutradarai oleh Milan Luthria (Once Upon a Time in Mumbaai, The Dirty Picture, Baadshaho), Tadap berjalan secara back-to-back menampilkan sebuah dampak kausalitas yang terjadi pada romantika kawula muda yang ternyata sebercanda ini. Ishana yang terlalu memandang serius cinta dihadapkan pada sebuah realita yang tak semestinya. Dan, naskahnya mencoba menjabarkan perubahan tersebut secara berkala dengan selingan aksi di dalamnya.
Narasinya memang terlampau sederhana, dan Tadap sadar akan anggapan tersebut sehingga tak ada batasan untuk membuat filmnya mengikuti pakem genre serupa. Ini sejatinya bukanlah sebuah masalah, toh apa yang ditampilkan Tadap sejatinya tampil cukup menghibur dalam ranah straight-forward movie. Tak perlu banyak logika untuk menikmatinya, cukup pasang mata dan fokus kepada layar.
Sebagai hiburan tentu filmnya bekerja. Namun, tidak dengan muatan narasinya yang sarat akan perwujudan perilaku misogini. Terlepas itu datang dari sebuah kesalahan yang sebenarnya, Luthria seolah mengedepankan hal tersebut agar sang karakter utama menemukan jalan keluarnya, menebus kesalahan dan melampiaskan dosanya. Tara Sutaria di kubu yang bersebrangan mampu menjadi tandem yang sepadan, meski karakterisasinya amat one-dimensional.
Konlusinya tampil sebagaimana mestinya, saya menyukai shot terakhirnya yang cukup mempunyai makna tersendiri secara tersirat. Tadap terlalu mengandalkan semuanya pada sebuah twist yang terlampau biasa, untung deretan aksinya setidaknya mampu memanjakan mata di tengah intensi filmnya yang sedikit salah kaprah, yang meski tak sepenuhnya bukan sebuah masalah.
SCORE : 3/5
0 Komentar