Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - THE BRITTLE THREAD (JAFF 2022)

 

Disutradarai sekaligus ditulis naskahnya oleh Ritesh Sharma yang sebelumnya pernah menyutradarai dokumenter mengenai human trafficking beserta perbuatan prostitusi masyarakat komunal dalam The Holy Wives (2010), The Brittle Thread (mempunyai judul asli Jhini Bhini Chadariya) menyentil isu perihal kesenjangan sosial masyarakat komunal disertai diskriminasi rasial, agama bahkan cara berpakaian.


The Brittle Thread terbagi atas dua linimasa yang saling bersinggungan. Rani (Megha Mathur) adalah seorang penari vulgar yang senantiasa menghibur masyarakat dengan gerakannya yang sensual. Pekerjaan ini Rani lakukan semata demi putri semata wayangnya yang tuna rungu, Pinky (Roopa Chaurasiya), yang ia sekolahkan di sebuah asrama. Di kehidupan Rani, hanya ada satu tujuan, ia ingin hidup sesuai jalannya sendiri, bahkan keinginan Baba (Utkarsh Shrivastav), sang kekasih ia hiraukan untuk sekedar mencari dan mengganti pekerjaan.


Sementara itu Shahdab (Muzaffar Khan) adalah seorang penenun kain saree tradisional, mengerjakan satu saree memakan waktu lima belas hari, lain halnya dengan bantuan mesin, yang hanya membutuhkan waktu tiga jam. Shahdab yang merupakan seorang pemuda muslim pendiam bertemu dan kemudian berkenalan dengan Adah (Sivan Spector), turis asal Israel yang perlahan memikat hatinya.


Di pinggiran kota Varanasi keduanya tinggal, di bawah langit yang sama dan di lorong jalan mereka mengadu nasib dengan caranya masing-masing. Tak ada keinginan lain selain memenuhi kebutuhan hidup dan cinta yang tak terungkap. Bahkan beragam diskriminasi serta pandangan orang lain mereka enyahkan, setidaknya kebutuhan dan hasrat terpendam cukup membuat keduanya untuk hidup.


Lewat tangan dingin Ritesh Sharma, The Brittle Thread merupakan karya personal sekaligus paling jujur darinya. Sebuah karya yang berdasarkan pengalaman (Sharma lahir dan besar di Varanasi, Uttar Pradesh) seolah sebuah surat cinta sekaligus ironi bagi kehidupan yang kerap dinormalisasi. Kehidupan seperti apa? Kehidupan yang membiasakan seseorang melakukan diskriminasi, fanatisme kian gencar dan apa yang dikenakan seolah mencerminkan pribadi seseorang.


Ritesh tak mau menutup mata, dijadikannya dua karakter yang tak sempurna dan jauh dari kesan suci. Misalnya Rani, wanita yang kerap jadi tontonan warga yang hanya ingin melihat tubuhnya sekaligus simpanan seorang politisi lokal, Shiv Shankar Tiwari (Ashutosh Singh) menyadari betapa lingkungannya sarat akan budaya patriarki. Ia pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk sekedar menyambung hidup dan berkeinginan untuk menjadi pemain film. Perlakuannya mungkin tak bisa dibenarkan, namun dapat dipahami.


Demikian pula dengan Shahdab, yang dalam satu kesempatan ingin mencium Adah, padahal tetua dan keluarga mereka mengingatkan agar menjauhinya dengan alasan berbeda agama. Tetapi, cinta memanglah buta. Kali ini ia memberanikan diri untuk mengungkapkan, tak hanya sekedar membayangkan dan melakukannya kepada sebuah manekin yang selalu ia pakaikan saree dan diperlakukannya secara lembut (adegannya dimuat dalam poster).


The Brittle Thread adalah tontonan yang realis, yang ingin menunjukkan betapa kejamnya dunia terlebih tatkala sesama manusia yang sama-sama terbungkus oleh helaian kain tak ubahnya binatang. Ini adalah gambaran realita yang sebenarnya, yang ingin merasa benar dan menang sendiri tanpa memperhatikan sekitar. Beragam pidato dari PM Narendra Modi, Ketua Menteri Uttar Pradesh, Yogi Adityanath hingga editor TV Arnab Goswami yang saling melempar kampanye fasisme, otoritarianisme dan kefanatikan agama adalah contoh sederhana dari perlakuan yang kadang mereka tak sadari.


Semua elemen yang ditampilkan Ritesh melebur sempurna tanpa pernah terasa tumpang tindih. Ada sebuah mimpi yang terkungkung oleh realita, ada sebuah trauma yang coba dilupakan yang pada akhirnya memaksa karakternya untuk berdamai dan siap menerima beragam kejadian yang siap ditampilkan oleh kehidupan selanjutnya. Dalam sebuah adegan kita memahami bahwasannya apa yang dilalui oleh Shahdab tidakklah mudah, terutama ketika menceritakan latar belakang keluarganya yang merupakan korban tak bersalah dari segala "normalisasi" yang dilakukan oleh manusia. Sharma menggunakan kejadian penghancuran Masjid Babri sebagai dan sekali lagi bukti nyata kebiadaban perlakuan diskriminasi dan intoleran.


Sementara filmnya perlahan mengungkap sebuah realita pahit, kamera hasil bidikan Priyashanker Ghosh memuat sebuah adegan secara jujur. Favorit saya adalah adegan ketika Shadab dan Adah bercerita dari hati ke hati mengenai keluarga dan lingkungan sekitar di pinggiran sungai, sementara di saat bersamaan Rani, Pinky dan Baba tengah menikmati perjalanan diatas perahu. Kontras kehidupan dan secercah kebahagiaan mereka terlihat walaupun secara samar, bahwasannya masih ada kebahagiaan ditengah beragam kesulitan. Meski pada akhirnya, The Brittle Thread tetaplah sebuah ironi sekaligus mimpi buruk saat ketakutan terbesar seorang manusia terulang kembali. 


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar