Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - 24 (JAFF 2022)

 

Mengikuti perjalanan seorang sound engineer bernama James Choong pasca kematiannya yang mengharuskannya mengunjungi 24 berbeda, 24 merupakan karya keempat (atau kelima jika menghitung segmen Bunga Sayang dalam 7 Letters) sutradara Royston Tan, sekaligus yang paling personal bagi dirinya (ide pembuatan film ini muncul tatkala James Choong, sang kolabolator lama dirinya muncul mengunjunginya). Bersamaan dengan hal itu pula, 24 merupakan ode bagi sinema, orang tercinta dan yang paling utama adalah kehidupan setelah kematian.


Pembukanya menampilkan pasangan gay yang tengah melakukan hubungan intim ditemani dengan lampu merah menyala, sementara desahan dan erangan dibiarkan dan direkam oleh Choong. Seolah melawan dogma, pembuka ini bisa saja merupakan manifestasi dari sebuah kelahiran yang didasari akan sebuah cinta dan harapan akan kehidupan, menyusul setelahnya adalah sebuah festival bagi para manula yang tengah berdansa dan mendengarkan dendang lagu bersama. Sebuah perayaan akan kehidupan telah ditampilkan.


Sepanjang 24 berjalan Choong hadir dengan microphone boom miliknya yang senatiasa merekam berbagai bentangan alam hingga tempat yang berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Choong tampil nihil ekspresi, kehadirannya sebatas berada pada tempat dan membiarakan para partisipan di dalamnya menggunakan metode breaking the fourth wall. Misalnya, ketika ia mendatangi sang nenek di sebuah rumah sakit pasca operasi, tersirat sebuah kerinduan akan kebersamaan akan keluarga. Pun, demikian kala Choong yang mendatangi sang istri dan anak semata wayangnya ketika mandi, Tan menyiratkan bahwasannya hubungan keluarga tak memandang batas ruang dan waktu.


Choong sempat mendatangi keramaian para pemuda yang turut menghadirkan Royston Tan dalam sebuah penampilan khusus, mereka tengah membicarakan tentang kehidupan yang penuh dengan cobaan, bahkan mereka tak segan saling melempar kata umpatan. Sementara kamera hasil bidikan Juan Qi An senantiasa tampil statis, seolah mengatakan pada penonton bahwa inilah yang harus kalian amati.


Memasuki pertengahan, Tan masih setia mempertahkan representasi lewat beragam percakapan dan kejadian, yang kehadirannya terkadang menguatkan namun beberapa tampil stagnan. Saya paham filmnya memang berjalan di ranah arthouse meditaif nan kontemplatif, namun pengadeganan berlarut-larut terkadang mengurangi intensi, terlebih kala sebuah montase tampil tanpa adanya sebuah dialog.


Menjelang konklusi, barulah 24 mematenkan narasi dengan menampilkan sebuah perenungan akan sebuah kematian yang sudah menjadi sebuah kepastian. Ada tangisan keluarga yang tumpah, namun adapula balutan kenangan yang melimpah ruah. Tinggal bagaimana seseorang memaknainya dan Tan membawa sebuah pencerahan tanpa pernah mengalienasi hal yang musti terjadi.


Jean-Luc Godard dalam Le Petit Soldad (1961) pernah berkata bahwa "Cinema is truth 24 times a second" yang bisa saja merupakan alasan Tan memaknai judulnya. 24 adalah sebuah elegi. Elegi yang bukan berarti mengeliminasi cinta, namun membuatnya semakin abadi dalam sebuah balutan kenangan akan kehidupan yang tak hanya diisi oleh kesedihan, tetapi kebahagiaan.


SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar