Menyandang status sebagai film remake terbanyak (sejauh ini baru 21 judul telah dirilis dan proses pembuatannya masih berlangsung di beberapa negara), Indonesia menjadi negara yang baru saja merilis adaptasi resmi berjudul sama buatan Italia yang dirils pada 2016 silam. Pertanyaan besar pun mencuat, terkait apa yang membuat filmnya begitu spesial dibalik masing-masing rilisannya sukses secara komersil?
Kedekatan representasi adalah jawabannya. Di berbagai negara maupun budaya manapun, pengaplikasian materi dari Perfect Strangers sangat membumi, pun disamping beragam rentetan peristiwa setelahnya yang mampu menjaga atensi, baik mereka yang menyenangi tontonan berbasis dialog maupun mereka yang menyukai kejutan semacam twist.
Ditukangi oleh Rako Prijanto (#TemanTapiMenikah, Asal Kau Bahagia, Sang Kiai) dengan dukungan naskah dari Alim Sudio (12 Cerita Glen Anggara, Sayap-Sayap Patah, Kalian Pantas Mati), Perfect Strangers masihlah sebuah remake yang setia pada sumber aslinya, namun itu tak lantas membuat versi terbaru ini jadi tontonan yang biasa saja, baik Rako maupun Alim paham betul apa kelebihan dan kekurangan film aslinya, modifikasi pun dilakukan, yang hasilnya begitu tepat sasaran.
Plotnya sendiri masih familiar, Enrico (Darius Sinathrya) dan Eva (Nadine Alexandra) mengundang beberapa sahabatnya: Wisnu (Adipati Dolken) dan Imelda (Clara Bernadeth), pasangan suami-istri yang tengah merenggang akibat keberadaan ibu Wisnu di rumah mereka; Anjas (Denny Sumargo) dan Kesha (Jessica Mila), pasangan baru menikah yang tengah mesra-mesranya; pula Tomo (Vino G. Bastian), pria tambun dengan janggut tebal yang kabar mengenai kekasih barunya menjadi bahan perbincangan.
Dalam perayaan apartemen baru milik Enrico-Eva, mereka berkumpul dalam sebuah makan malam disamping saling membawakan kado dan kudapan. Berdasarkan celetukan Eva yang ingin memberikan suasana yang berbeda, mereka lantas melakukan sebuah permainan sederhana dengan cara meletakan handphone masing-masing diatas meja dan segala pesan maupun surel hingga panggilan harus diangkat secara terbuka dengan pengeras suara. Lambat laun, sebuah rahasia terungakap di malam bulan purnama itu.
Seperti yang telah saya singgung diatas, pembuat Perfect Strangers tahu betul bagaimana kekurangan dan kelebihan filmnya. Bagi penonton yang sudah khatam dengan sumber aslinya, menyaksikan filmnya memberikan suasana baru yang menuntut konsentrasi akan komparasi dengan originalnya, sementara penonton baru akan menikmati beragam kelokan maupun tikungan yang coba disampaikan filmnya tanpa mengubah lajur sumber materinya. Ini sebuah langkah yang tepat, mesikipun itu berari harus menambah jatah durasi melebihi ketepatan yang dilakukan sang padanannya.
Kelebihan itu tampil tepat guna, meski sedikit mengubah apa yang dilakukan, misalnya penambahan isu seputar status sosial masyarakat kita yang begitu mengakar (pemberian kado Kesha yang bertuliskan Made in China) hingga perubahan terkait karakter Wisnu yang sedikit berbeda, ketimbang apa yang dilakukan Lele (Valerio Mastandrea) si pengacara yang lebih santai, karakter yang dimainkan oleh Adipati Dolken terasa lebih impresif, cenderung meledak-ledak, dan tanpa sadar merupakan gambaran bagaimana seorang pengacara di negeri kita. Hingga pengubahan dari rumah ke apartemen (sebelumnya dilakukan oleh versi korea, Intimate Strangers, 2018).
Modifikasi tersebut rasanya sah-sah saja, mengingat sebuah pengubahan tak lantas membuyarkan pesannya yang amat kuat. Meski secara pribadi, saya menyukai apa yang dilakukan sang empunya cerita, namun penggunaan banter dialog yang dilakukan versi Indonesia ini setidaknya lebih tertata dan mudah dipahami, yang satu lagi sukses diperbaiki oleh para pembuatnya yang sadar akan segala penempatan, termasuk penjelasan yang kerap dilakukan secara verbal.
Beruntung bagi Perfect Strangers yang dihadiahi para pelakon yang begitu solid, para pemain nampak luwes dan mumpuni bermain emosi maupun bertukar dialog. Paling menonjol adalah Nadine Alexandra dan Clara Bernadeth, yang lewat guratan emosinya mencoba menahan apa yang mereka rasakan tanpa pernah terasa berlebihan. Vino G. Bastian sebagai lead utama pun demikian, meski pada awalnya penggunaan prostetik dan fat suit hingga rambut dan jenggot yang ia kenakan begitu mengganggu, namun tidak dengan luapan emosinya yang terasa lantang dan hangat seperti biasanya.
Konklusinya pun masih setia dengan sumber aslinya (disamping kekurangan utamanya yang semula merupakan claustrophobic drama sarat observasi menjadi sajian penuh twist). Akhir yang mungkin akan banyak dipertanyakan dan diperdebatkan dengan keputusan hasil akhirnya bagi sebagian orang, namun bagi saya pribadi sempurna menutup sebuah kisah dari manifestasi bulan purnama tersebut. Sebuah keputusan yang sarat akan sebuah dualisme. Jawabannya hanya sebatas memilih antara pahit dan manis, yang masing-masing memberikan sebuah hasil yang paradoks.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar