Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - PEREMPUAN BERGAUN MERAH (2022)

 

Sempat mengalami penundaan selama 2 tahun karena faktor pandemi, saya mengira bahwa Perempuan Bergaun Merah yang menjadi film panjang kedua bagi penulis sekaligus sutradara William Chandra (Sekte) akan memiliki kualitas yang matang sebagaimana yang dilakukan oleh Qodrat sebelumnya. Dengan memasang nama Timo Tjahjanto (dwilogi Sebelum Iblis Menjemput) sebagai produser hingga trailer yang dirilis dengan hasil yang menjanjikan, tentu ekspetasi tinggi pun menyambangi hasil akhir filmnya yang justru mengkhianati apa yang semula diharapkan. Lagi-lagi ekspetasi tak sesuai dengan realita.


Selepas pesta minuman keras yang diadakan di rumah Kara (Stella Cornelia), di mana ia turut menggundang para sahabatnya: Marko (Aufa Assagaf), Wisnu (Jordy Rizkyanda), Rosa (Faradina Mufti), Gerry (Ibrahim Risyad) hingga teman dekatnya, Dinda (Tatjana Saphira) yang membuat mereka tak sadarkan diri, Dinda yang setengah sadar menyadari bahwa Kara yang pada waktu itu menggunakan baju berwarna merah menghilang secara misterius. Dinda yang terus ditanyai oleh ibu Kara (Dayu Wijanto) merasa bertanggung jawab atas hilangnya Kara, ia lantas mengajak kekasih Kara, Putra (Refal Hady) untuk mencari jawaban atas peristiwa ini, terlebih kala masing-masing dari mereka mulai mendapati sebuah teror dari hantu perempuan bergaun merah.


Mengedepankan kultur Tionghoa sejatinya memberikan sebuah kesegaran, di mana mitos atau legenda mengenai Hong Gui (atau Nu Gui, correct me if i'm wrong) turut diangkat. Sayang, unsur tersebut sebatas sebuah tempelan kala William Chandra seolah hanya fokus pada unsur investigasi hingga barisan teror sang hantu yang seperti telah kita lihat di trailer-nya sarat akan DNA Timo Tjahjanto.


Pengecualian untuk unsur investigasi terkait pencarian Kara yang seolah stagnan alias jalan ditempat. Apa yang dilakukan Dinda dan Putra hanya sebatas bertanya kepada Nenek Wong (Dewi Pakis dalam tatapan khas miliknya), itupun memakan waktu yang lama untuk menemukan jawabannya, yang Will simpan di akhir cerita demi menambahkan sebuah twist tentunya. Twist yang sedari awal mudah ditebak keberadaannya tepatnya.


Terkait twist yang dipakai, terasa kontradiktif ketika penonton tiba-tiba diminta simpati terhadap salah satu karakternya yang sedari awal tak pernah secara mendalam dikenali tokohnya. Di saat bersamaan pula, ini melemahkan dampak pesan yang semula William sampaikan terkait perlawanan objektifikasi wanita. Di saat para karakter wanita dalam film horor lokal mulai menampakkan kekuatannya, Perempuan Bergaun Merah bak sebuah kemunduran.


Semakin melelahkan ketika transisi antar adegan kentara kasar. Entah ini merupakan kesalahan di meja editing atau materi cerita yang kurang kuat atau bisa saja penyutradaraan William kurang prima hingga imbasnya apa yang disaksikan di layar terkadang terasa membingungkan pula melelahkan setiap pembantaian absen. Pun, ketika ditampilkan pun terasa terburu-buru, nihil taji meski variasi metode membunuhnya kreatif (favorit saya adalah sebuah adegan yang melibatkan kasur rumah sakit).


Beruntung bagi Perempuan Bergaun Merah yang memasang rating 13+ berhasil mendorong tingkat kekerasan secara maksimal. Ini yang setidaknya mengobati sebuah kekesalan kala di lini lainnya terasa kurang berimbang. Jangan lupakan performa pemain yang turut berperan, Tatjana Saphira dalam debut murni horornya (sejenak lupakan dwilogi Ghost Writer) tampil cukup menggila, meski yang paling membekas diingatan adalah Faradina Mufti yang masuk jajaran scream queen tanah air lewat ekspresi ketakutan sempurna dalam raut wajahnya.


Jika anda memutuskan menonton Perempuan Bergaun Merah demi mencari hiburan dan cipratan darah, filmnya tak begitu mengecewakan. Lain halnya jika anda mencari sebuah keseraman dan ketegangan, filmnya tak begitu mulus dalam menyampaikan esensi utamanya. Apalagi jika melihat trek rekor horor lokal sebelumnya yang diatas rata-rata, semoga perasaan horror fatigue tak sampai menghampiri.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar