Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - DON'T WORRY DARLING (2022)

 

Diluar segala kegaduhan dan kontroversi di balik layarnya, Don't Worry Darling yang menadai karya kedua aktris sekaligus sutradara Olivia Wilde pasca Booksmart (2019), drama coming-of-age yang semenyenangkan itu, ia kembali menggandeng sang penulis langganan di film sebelumnya, Katie Silberman (berdasarkan cerita dari Carey Van Dyke dan Shane Van Dyke) dalam meramu sebuah sajian thriller dengan bumbu science-fiction hingga action. Pun sempat ia akui bahwa Don't Worry Darling banyak terinspirasi The Stepford Wives (1972), The Truman Show (1998), Inception (2010) hingga The Matrix (1999). Hasilnya? Tak seburuk sebagaimana yang kebanyakan orang katakan.

 

Bernuansa retro (latar tahun filmnya tak dibuat ambigu, meski jika menilik tata kostum hingga arsitektur rumahnya berlatar tahun 1950-an), Alice (Florence Pugh) dan Jack (Harry Styles) adalah sepasang suami-istri yang tinggal di sebuah company town yang damai. Kota tersebut bernama Victory, sebuah hunian yang didesain dan dicipatakan sekaligus dimiliki sendiri oleh Frank (Chris Pine). Dari perusahaan Frank pula, Jack beserta para suami lainnya turut bekerja.

 

Pemandangan sempurna yang diharapkan oleh para mereka yang sudah atau tengah berumah tangga terjadi setiap pagi, di mana sang istri akan melambaikan tangan kepada sang suami dan setelah itu ia melakukan tugas rumah semisal menyapu dan menyuci kamar mandi. Sesekali mereka pergi untuk latihan balet yang dipimpin oleh Shelley (Gemma Chan), istri Frank. Pun, kala sang suami pulang mereka menyambutnya dengan menyiapkan makanan hingga sentuhan keintiman.

 

Di permukaan terlihat sempurna bukan? Namun, sebagaimana keempurnaan yang masih saja memiliki cela, terdapat sebuah rahasia kelam di dalamnya. Don't Worry Darling menggiring penonton pada kondisi di mana utopia nyatanya tak selaras dengan realita. Terlebih kala tetangga Alice, Margaret (KiKi Layne) melakukan aksi bunuh diri pasca sebelumnya menyambangi markas perusahaan para suami yang bertempat di gurun pasir, satu-satunya larangan para warga Victory. 

 

Paruh awal Don't Worry Darling efektif dalam menjalankan tugasnya selain sebagai proses introduksi, ada secercah misteri yang coba digiring oleh Wilde lewat keanehan yang dialami oleh Alice atau kecurigaannya akan sebuah rahasia besar, semisal ketidaktahuan istri akan pekerjaan sang suami dan keengganan suami untuk memberitahukan apa yang ia kerjakan. Karena terpenting, menurut para penganut male gaze, istri menjalankan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga. Itu saja.

 

Memasuki babak kedua, mulailah naskah Silberman kebingungan dalam mengisi proses menuju konklusi yang harus diakui tersaji melelahkan. Sebatas diisi oleh rentetan repetisi dialog dan sekuen yang menghantui mimpi Alice. Beruntung, jajaran pemainnya tampil solid, yang setidaknya membuat penonton betah untuk mengikuti misterinya hingga akhir. Pine sempurna sebagai antagonis lewat tatapan matanya saja, Chan dalam diamnya tampil intimidatif, Styles yang meski semula dikeluhkan, tak seburuk bagaimana masifnya anggapan. Wilde yang turut memerankan Bunny, tampil sebagai sidekick penuh rahasia.

 

Namun, kekuatan terbesar Don't Worry Darling adalah bahwa ia memiliki Florence Pugh, aktris muda dengan beragam talenta. Pugh adalah kekuatan utama filmnya kala narasinya mulai mengalami penurunan, tidak dengan performanya yang selalu gemilang, dan bahkan tak menutup kemungkinan, ia adalah salah satu alasan mengapa Don't Worry Darling masih betah untuk disaksikan.

 

Beruntung, memasuki third-act, Wilde seolah memberikan penebusan bagi filmnya di mana sekuen kebut-kebutan di padang pasair sempurna memberikan sebuah spektakel penuh gaya lewat tangkapan kamera langganan Darren Aronofsky, Matthew Libatique. Demikian pula dengan scoring gubahan John Powell yang perlahan mencekam, meski sesekali memberikan nuansa feminis.

 

Bersamaan dengan hal itu, Don't Worry Darling pun memberikan sentilan (atau bahkan tamparan) kepada pria pemangku budaya patriarki dan misogini lewat perspektif female gaze yang alih-alih menyalahkan, mereka malah memberikan sebuah kebenaran. Dari sini, Don't Worry Darling kembali memberikan sebuah relevansi yang ironisnya masih sering terjadi.

 

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar