Ek Villain (2014) sukses baik secara kritik maupun finansial. Delapan tahun berselang, Mohit Suri kembali mengembangkan waralaba ini dengan cerita baru, meski tetap mempertahankan sang maskot utamanya, smiley killer. Bersama Aseem Arora (Malang - Unleash the Madness, Chhalaang, Bel Bottom) selaku penulis naskah, Ek Villain Returns tampil sebagaimana sekuel kebanyakan, lebih besar dan lebih megah, hasil akhirnya pun mengikuti kebanyakan penyakit serupa, di mana naskahnya malah tampil lemah.
Tak butuh waktu lama untuk Mohit Suri tancap gas, dalam sebuah pesta, seorang penyanyi bernama Aarvi Malhotra (Tara Sutaria) ditikam secara mengenaskan. Baik media maupun pihak kepolisian tengah sibuk mencari siapa pelaku dibalik penyerangan mengenaskan tersebut. Perlahan tapi pasti, dugaan kemudian mengerucut kepada Gautam Arora (Arjun Kapoor), kekasih Aarvi sekaligus anak seorang industrialis berpengaruh.
Masih mempertahankan pola sebelumnya, Ek Villain Returns memasang banyak linimasa flashback guna menjelaskan pula mengenalkan karakternya. Separuh awal dihabiskan untuk menyoroti kisah asmara Aarvi-Gautam yang dekat karena ketidaksengajaan mereka yang saling memanfaatkan satu sama lain. Pun seiring berjalannya cerita, orang terdekat yang berada pada panggilan telepon Aarvi diselidiki pihak kepolisian, termasuk Bhairav Purohit (John Abraham), seorang supir taksi online sekaligus staff kebun binatang.
Ketiga karakter tersebut nantinya saling terkoneksi, yang dalam naskahnya cukup terbata-bata dalam memperkenalkannya, seolah sang penulis hanya bermodalkan memanfaatkan flashback tanpa pernah mencoba menjalinnya secara runut. Dari sini pula kita berkenalan dengan Rasika Mapuskar (Disha Patani), seorang pramuniaga pakaian sekaligus love-interest Bhairav. Tak ada kisah cinta yang romantis di sini, melainkan cinta sepihak sebagaimana dalam trailer-nya jelaskan.
Berjalan di ranah abu-abu di mana extreme love story menjadi acuan utama, Ek Villain Returns sejatinya berpotensi tampil mumpuni andai dibekali pemahaman yang tak salah kaprah, bukan sebatas memberikan karakterisasi asal jadi sebagai pemicu sekaligus pemantik serangkaian kejadian, baik itu perkelahian maupun pembunuhan. Itulah mengapa, sulit untuk terkoneksi maupun memberikan simpati terhadap karakternya yang di atas kertas sudah kurang motivasi.
Misalnya terkait karakter Bhairav yang menuntut John Abraham sepanjang durasi memasang wajah mesam. Kita tahu dia mengalami sebuah tragedi, namun apa yang melatari tragedi itu kurang digali, terlebih ketika salah satu penyebabnya ditampilkan begitu cringey dan kurang masuk logika. Lagi pula apa yang diharapkan dari film yang sedari awal sudah tak memasang hal demikian?
Setidaknya, deretan aksi yang dibungkus oleh Mohit Suri mampu mempertahankan tensi, meski terkait pemakaian kameranya sendiri kurang liar dalam menangkap detail koreografi. Sebutlah momen dalam sebuah kereta maupun ketika pengejaran di kebun binatang. Berbekal pemakaian slow-motion, adakalanya adegan tersebut terlihat menawan meski tak jarang berujung pada ketiadaan substansi.
Menjelang konklusi, tentu ada sebuah twist yang siap dihadirkan oleh Mohit Suri, twist yang penempatannya amat berantakan dan terpenting seolah mendukung perbuatan misogini. Untuk apa kita memberikan simpati kala barisan karakternya pun tak mampu untuk disukai? Penutup yang seharusnya tampil manis dan sarat manifestasi akan sebuah katarsis ternodai oleh pemikiran yang hanya sebatas menampilkan sebuah eksistensi, tanpa pernah mencoba memberikan nyawa pada filmnya sendiri.
SCORE : 2/5
0 Komentar