Entah ini merupakan sempalan dari After Met You (2019) atau bukan, yang jelas Before I Met You memiliki kesamaan serupa dengan film tersebut, yakni sama-sama memiliki kualitas di bawah rata-rata. Drama mengenai romantika remaja dengan segala problemnya jika berada di tangan yang tepat akan menghasilkan sebuah sajian yang tepat pula, bukan hanya sebatas memasang para pemain berparas cantik dan ganteng saja. Harus saya akui bahwa para pelakon muda di film ini memiliki akting yang sudah tak diragukan lagi, namun ketika mereka memainkan peran yang tak mendorong kemampuannya untuk diberikan kesempatan untuk bereksplorasi hanya akan menjadikan mereka untuk kehilangan sebuah apresiasi.
Ditulis naskahnya oleh Demas Garin dan Talitha Tan (The Secret: Suter Ngesot Urban Legend, 4 Mantan, Denting Kematian) bersama sang sutradara, Angling Sagaran (From London to Bali, Tabu, Buku Harianku), premisnya teramata klise untuk ukuran film drama remaja. Mengisahkan Gadis (Adhisty Zara) yang baru saja pindah bersama sang ibu (Endhita) demi memulai hidup baru pasca sang ayah memutuskan untuk menikah lagi. Ditengah kesedihannya, Gadis yang pindah juga ke kampus baru haus berhadapan dengan Bara (Bryan Domani) pria playboy yang gemar menguntit sekaligus memberondong Gadis dengan gombalan khas remaja. Tentu saja, Gadis tak menyukai Bara.
Hingga pada sebuah kesempatan ia bertemu dengan Rama (Kevin Ardilova), pria yang pernah ia tabrak ketika olahraga ditengah pelariannya akan masalah rumah. Sebagaimana kebanyakan FTV yang bermula dari sepeda mogok, kebaikan Rama seketika meluluhkan hati Gadis, meski pada kenyataannya Rama masih berpacaran dengan Gadis (Hasyakyla Utami).
Konfliknya tak jauh seputar kegamangan Gadis untuk mencintai Rama atau keinginan Bara untuk memiliki Gadis. Before I Met You adalah tipikal film remaja dengan kisah cinta segita yang nampak sederhana namun diperumit demi menambah kembali jajaran konflik yang tak seberapa kaya, yang kebanyakan telah banyak diadopsi oleh beragam macam FTV dengan judul nyelenehnya.
Guna menambahkan daya pikat, tambahkan beragam setting mewah semisal hotel maupun mobil sport yang seolah keberadaannya sebatas dimanfaatkan sebagai ajang pamer alih-alih berkontribusi bagi narasi. Demikian pula dengan penyutradaraan Angling Sagaran (yang di sini memakai nama belakangnya saja) yang seolah tak mempunyai banyak ruang untuk bergerak, sebatas menerjemahkan naskahnya yang setipis kertas tersebut.
Para pelakon pun harus kena batunya perihal ketiadan karakterisasi yang berisi. Adhisty Zara misalnya yang penampilannya di Dua Garis Biru (2019) seketika runtuh kala dituntut memerankan remaja labil yang gamang akan cinta dan rahasia. Ya, rahasia, filmnya memiliki rahasia berupa setumpuk twist klise yang begitu berlapis dalam sekali adegan (let me say, triple twist), menyusul kemudian adalah sebuah dramatisasi yang gagal memiliki taji.
Hingga tatkala sebuah twist tersebut diungkap, bukan sebuah kejutan yang saya dapatkan melainkan sebuah tipuan bahwa filmnya mencoba untuk tampil pintar tanpa menyadari apa yang terjadi. Ah, sudahlah, mungkin saya terlalu awam untuk mencerna triple twist miliknya maupun untuk menangisi beragam dramatisasi formulaik khas romansa remaja ini.
SCORE : 1/5
0 Komentar