Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

REVIEW - UNTIL TOMORROW (2022)

 

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kehidupan dan kenangan yang dialami oleh Alan Tito dan mendiang Daslina Sombi, Until Tomorrow yang merupakan adaptasi kisah nyata keduanya-merupakan sebuah persembahan yang kurang prima, terlebih ketika naskahnya yang kebingungan menampilkan pengadeganan, meski secara artistik jelas tampil menawan.


Ditulis naskahnya oleh Evelyn Afnilia (Keluarga Tak Kasat Mata, Roh Fasik, Surat dari Kematian), Until Tomorrow sebatas menerapkan dan mencomot rangkaian adegan yang telah melekat pada film maupun sinetron. Sebutlah takala, Haka (Deva Mahenra) yang hendak melamar Sarah (Clara Bernadeth) di sebuah kafe, mendadak sekuen musikal diterapkan, diiringi lagu Jadikanlah Aku Pacarmu milik Sheila on 7, momen musikal tersebut cukup tampil manis, meski kini tak seistimewa seperti biasanya.


Jelas, Sarah menerima lamaran Haka, yang belum sampai kebahagiaan mereka mulai merekah, Sarah didiagnosis mengidap kanker darah stadium tiga. Harapan Sarah untuk hidup bersama Haka perlahan memudar, pun demikian dengan Haka yang kehilangan fokus kerja, terlebih kala mendapati sebuah peluang besar dari rekan kerjanya, Rama (Dimas Anggara) dan Kartika (Caitlin Halderman).


Selanjutnya, naskahnya dengan malas menampilkan deretan konflik dangkal semisal kecemburuan Sarah terhadap Haka yang ketika melihat postingan Kartika, ataupun sebuah momen di mana Rama mulai mempertanyakan kredibiltas pekerjaannya terhadap Haka yang selalu memikirkan Sarah. Momen demikian jelas klise, terlebih kala rentetan dialognya dipenuhi barisan kata sarat unsur picisan hingga dialog kalimat cheesy yang mudah dilupakan.


Sarah memiliki bisnis kue (yang mana merupakan impian mendiang Daslina Sombi semasa hidupnya), yang justru jadi tempat berkumpulnya para pemeran pendukung yang kehadirannya sebatas lewat, tanpa memiliki substansi maupun karakterisasi yang jelas. Itu pun yang menimpa karakter Rena (Brisia Jodie), sahabat dekat Sarah, yang berkat akting mentah Jodie, chemistry keduanya sukar untuk didapatkan.


Demikian halnya dengan penyutradaraan Hadrah Daeng Ratu (Merindu Cahaya de Amstel, Makmum, A Perfect Fit) yang tak banyak melakukan sebuah gebrakan selain bahwa Until Tomorrow merupakan film yang bernada sama persis buatan sang sutradara sebelumnya. Terkecuali, sebuah adegan pertengakaran antara Haka-Sarah yang tampil intens, terlebih Hadrah tahu betul bagaimana menangkap performa serta guratan emosi keduanya.


Selebihnya, Until Tomorrow tak menawarkan sebuah hal yang baru ketika naskahnya sendiri kebingungan mengisi durasi sebelum nantinya menemui konklusi krusial yang kita tahu akan berjalan sebagaimana kisahnya terjadi. Momen yang seharusnya menjadi puncak emosi serta sisi bittersweet mengenai "the art of letting go" demi kebahagiaan sosok tercinta gagal tersampaikan-sebelum akhirnya ditutup oleh rekam peristiwa sang empunya kisah. Seharusnya, Until Tomorrow bisa mengulang atau setidaknya mewarisi semangat juang dua insan yang bersatu atas nama cinta bukan sebatas menampilkan duka.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar