Satu lagi remake film populer dari Korea Selatan, yang saya yakin penonton pada umumnya sudah menyaksikan versi aslinya yang digarap oleh Lee Hwan-kyung ini. Mengambil pengisahan serta judul sama seperti film aslinya, Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo (Ayat-Ayat Cinta, Satria Dewa: Gatotkaca, Jomblo), sementara naskahnya dikerjakan oleh Alim Sudio (Sayap-Sayap Patah, 12 Cerita Glen Anggara, Kuntilanak 3). Lantas bagaimana hasil akhirnya?
Dodo Rozak (Vino G. Bastian) adalah pria penyandang disabilitas yang kesehariannya ialah berjualan balon. Beruntung, Dodo memiliki Kartika (Graciella Abigail), puteri semata wayangnya yang selalu membantu sekaligus memberikan semangat kepadanya. Hingga sebuah insiden terjadi, di mana Dodo dituduh tela membunuh dan memerkosa seorang gadis cilik hingga di jatuhi hukuman mati.
Setiba di penjara, Dodo ditempatkan di sel nomor 7, yang juga dihuni oleh Japra (Indro Warkop) sang ketua geng, yang juga turut memuat Jaki (Tora Sudiro), Bewok (Rigel Rakelna), Atmo (Indra Jegel) dan Bule (Bryan Domani), yang nantinya akan membantu Dodo untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel.
Sebelum saya membahas mengenai komparasi filmnya, izinkan saya untuk memberikan pujian khusus kepada para pemeran penghuni sel, yang berkat kepiawaian aktingnya, mampu melontarkan momen komedi secara tepat dan hasilnya mampu membuat penonton seisi studio tertawa bersamanya. Pujian khusus patut saya layangkan kepada Indro Warkop, yang pasca puluhan film telah ia lakoni (tentu tanpa menghitung film-film Warkop) adalah penampil paling mencuri perhatian sekaligus sosok yang selalu mengayomi Dodo. Kehangatan tercipta jelas dalam perilaku serta raut wajahnya.
Sedari film dibuka yang menampilkan karakter Kartika dewasa (diperankan oleh Mawar de Jongh) yang tengah mengunjungi sel untuk kemudian mengusut kembali kasus yang menimpa ayahnya, kita sempat diajak untuk berkenalan dengan para penghuni sel yang kini telah menjalani kehidupannya masing-masing. Momen ini terjadi cukup lama, yang meski membantu penonton untuk sekedar meluangkan dan mengenal, menyimpan satu kecacatan kecil terkait sebuah kesalah-kaprahan (clue: pelukan) yang seharusnya tak terjadi andai tak ingin menyimpulkan impresi lain. Beruntung, momen ini hanya sebatas sempilan dan tak mengganggu keutuhan bercerita.
Berjalan selama 145 menit (sementara film aslinya hanya 127 menit), Miracle in Cell No. 7 memang berlangsung lama sebagai upaya menambal sulam cerita entah itu sebagai penghubung maupun penjelas. Hasilnya pun memicu dua sisi yang saling bersebrangan, meski terkait pemindahan kultur tampil amat rapi sesuai dengan kedekatan masyarakat kita. Misalnya, Pastor digantikan dengan Guru Ngaji, paduan suara Gereja digantikan oleh shalawat, hingga momen menjelang Natal dirubah menjadi nuansa Ramadhan.
Itu adalah poin plus filmnya, yang juga diteruskan oleh penokohan Denny Sumargo sebagai Hendro Sanusi, kepala sipir penjara yang diberikan penceritaan lebih. Kita diajak untuk menelusuri pikirannya, meski tak serta-merta membuatnya percaya terhadap Dodo. Ada sebuah kegamangan tersendiri, sekaligus ketidakpercayaan mengapa orang baik sepolos Dodo bisa melakukan tindakan keji seperti demikian. Denny Sumargo, untuk pertama kalinya mencuri perhatian lewat penuturan kesubtilan karakterisasinya.
Sementara, di sisi bersebrangan, sebagaimana kita tahu bahwa Hanung Bramantyo amat menyukai momen yang tampil menggelegar lengkap dengan sebuah dramatisasi berlebih, yang juga terjadi lagi di sini. Hanung bak ingin membuat penonton menguraikan air mata, baik itu dalam sebuah adegan kecil pun. Hasilnya kadang sesuai porsi, meski tak jarang pula bertolak belakang. Sebutlah keputusan penerapan realistis yang dipakai, yang memberikan sebuah korelasi jomplang dengan sumber aslinya. Padahal, Miracle in Cell No. 7 bukanlah film yang menuntut hal demikian, logika tak seharusnya dipakai untuk kisah mengenai penyelundupan anak kecil ke sel. Terpenting, semangat dan kekuatan aslinya mengenai harapan dan kebaikan tersampaikan.
Sayang, semuanya tak selalu mulus sesuai usungan pesannya. Beberapa momen kadangkala gagal untuk tampil demikian akibat obsesi Hanung yang terlalu menekan penonton supaya menguraikan air mata. Momen balon udara misalnya, luntur daya magisnya akibat ketiadaan atau kurangnya emosi lebih, setelah sebelumnya banyak Hanung tekankan. Pun, terkait visual yang seharusnya sangat dreamy, dieleminasi oleh pemandangan yang seadanya.
Meski bukan remake yang memalukan (beberapa poin positif yang disebut diawal tadi adalah pencapaian yang cukup), Miracle in Cell No. 7 masih ampuh menyulut air mata, entah itu tatakala adegan persidangan di mana Mawar de Jongh mengatrol keseluruhan emosi, pun pemakaian tata kamera berputar yang cukup mumpuni serta peleburan linimasa yang harus saya akui sangat berperan menciptakan rasa. Saya tak kuasa menahan tangis, terlebih baik Vino G. Bastian, Mawar de Jongh maupun Graciella Abigail piawai menyuntikan emosi.
Pada akhirnya, Miracle in Cell No. 7 memang bukanlah remake superior, narasi yang terkadang sedikit jumpy, serta dramatisasi yang terlalu dieksploitasi memang menciptakan cela, namun itu tak berarti membuat filmnya tak bekerja. Semoga pasca kesuksekan film ini (selanjutnya, Hello Ghost yang akan tayang 20 Oktober 2022) mampu menampilkan sebuah penebusan yang tak hanya sebatas membuat kembali, melainkan turut mewarisi kekuatan film aslinya.
SCORE : 3/5
0 Komentar