Saya acap kali jengah dengan tontonan bermuatan religi (baik itu drama, romansa maupun horor) yang sebatas melontarkan ceramah dan dakwah, namun Qodrat adalah pengecualian. Di tangani oleh Charles Gozali (Nada Untuk Asa, Juara, Sobat Ambyar), materi yang kental akan sarat dakwah dan ceramah dirubah menjadi sebuah sajian yang benar-benar sesuai arah tanpa pernah melucuti esensi utamanya sebagai film religi. Modifikasi pun dilakukan dalam bentuk pengkawinan lintas genre dengan sajian aksi tangan kosong mumpuni, sebagaiaman keunggulan Charles Gozali.
Judulnya sendiri merujuk pada nama karakter utamanya, Ustadz Qodrat (Vino G. Bastian) adalah seorang ahli rukiah yang tak pernah gagal dalam menjalankan kewajibannya menolong orang lain. Namun, semua itu berkebalikan tatkala ia gagal menyelamatkan sang putera, Alif (Jason Bangun) yang dirasuki iblis bernama Assuala. Layaknya seorang manusia biasa yang mudah putus asa, Qodrat pun kehilangan kepercayaan dan keimanannya kepada Tuhan, bahkan ia tak pernah meminta dibangunkan untuk sholat subuh sementara matanya selalu terbuka.
Setelah insiden di penjara yang membuatnya mendapatkan remisi, Qodrat kembali ke desa Kober, tempat di mana ia menuntut ilmu di Pesantren Kahuripan yang dipimpin oleh Kiai Rochim (Cecep Arif Rahman) yang kini tak seperti sebelumnya. Kekeringann parah melanda desa, pun demikian dengan para warganya yang kebanyakan dirasuki oleh iblis. Mudah untuk kita menyadari bahwa ada yang tak beres di desa tersebut, pun demikian dengan Qodrat yang masih luntur keimanan dan kepercayaannya akan Tuhan.
Hingga sebuah peristiwa memasksanya kembali ke kodratnya sebagai perukiah tatkala ia tak sanggup menolak permintaan Yasmin (Marsha Timothy), warga setempat yang anaknya dirasuki oleh iblis, terlebih setelah Qodrat mendengar bahwa nama anaknya bernama Alif (Keanu Azka Briansyah). Qodrat meyakini bahwa dengan menolong Alif, ia akan terbebas dari kegagalannya menyelamatkan sang putera, terlebih iblis yang kini ia hadapi pun masih bernama Assuala.
Sedari pembukanya berlangsung, Qodrat tak ragu menarik atensi dengan menampilkan sebuah adegan eksorsisme yang ditangkap oleh kamera Hani Pradigya sedemikian cantik dengan memposisikan penonton sebagai orang ketiga (layaknya bermain video game). Dari sini mulai mencuat bahwa apa yang ditulis oleh Charles Gozali bersama Gea Rexy (Sobat Ambyar, Dear Natahan, Love Reborn) dan Asaf Antariksa (Love Reborn, Naura & Genk Juara the Movie) benar-benar tak main-main, terlebih kala menanggulangi unsur religinya yang jika ditilik lebih dalam merupakan manifestasi dari Al-Qur'an itu sendiri.
Charles seolah tak ingin melepas pedal rem tatkala filmnya secara perlahan mulai meningkat, mengeskalasi jump scare (yang meski ada, dan tepat guna) dengan balutan aksi sebagaimana jualan utama filmnya yang tak ragu memamerkan deretan perkelahian tangan kosong yang tampil brilian dan jauh dari mengecewakan. Ini merupakan poin plus film ini, mengingat apa yang ditampilkan oleh Qodrat merupakan sebuah pengalaman yang sangat langka dan harus dirayakan oleh sinema.
Deretan pelakonnya pun sumbangsih dalam memainkan peran. Vino G. Bastian yang debut dalam genre horor akhirnya menemukan apa yang memfasilitasi nada suaranya (pelafalan ayat suci tak pernah semenggetarkan ini) sekaligus sebagai superhero bersenjatakan tasbih. Marsha Timothy adalah tandem yang sepadan, lihatlah penampilannya tatkala kerasukan, memancarkan aura mega bintang yang rasanya sulit ditandingi, sementara pujian patut dilayangkan kepada Maudy Effrosina sebagai Asha, anak sulung Yasmin, yang sebagaimana kebanyakan remaja pada umumnya bersifat rebel, Maudy menampilkan performa yang likeable pun demikian tatkala ia melakoni adegan drama. Tetapi MVP harus jatuh kepada dua pemeran Alif, Keanu Azka dan Jason Bangun yang kembali menambah jajaran pelakon cilik horor.
Meski sedikit terkendala oleh karakterisasi yang sedikit instan, namun itu tak mengurangi kenikmatan untuk menyaksikan Qodrat di laya lebar, sebuah spektakel yang rasanya sulit didapatkan belakangan ini. Saya amat menyukai bagaimana Gozali merangakai adegan sedemikian cantik dan estetik, termasuk itu dalam sebuah adegan perkelahian menjelang konklusi, demikian pula dengan scoring dua suara yang teramat langka, dan memberikan sebuah after taste yang sulit ditemukan.
Qodrat merupakan capaian tertinggi seorang Charles Gozali yang mempunyai kepekaan tinggi yang amat subtil (adegan mati lampu misalnya) sebuah momen yang sekilas tampak sederhana namun selaras dengan realita pula memberikan sebuah tamparan terhadap film horor kebanyakan yang gemar bermain gelap-gelapan dan menghilangkan logika itu sendiri. Qodrat juga merupakan sebuah pembeda walaupun apa yang ditawarkan sejatinya tak pernah benar-benar baru, namun ia memiliki apa yang amat diabaikan oleh rekan sejawatnya ialah mengenai struktur.
Struktur yang begitu rapi dan kontuniti hingga menjelang konklusi. Qodrat pun tak lupa memberikan sebuah pemahaman melalui rukiah itu sendiri, rukiah yang bukan hanya sebatas mengucap kebesaran Tuhan, melainkan turut memberikan sebuah pendekatan personal mengenai penerimaan dan perelaan seseorang dalam menanggapi sebuah kehilangan. Dari sinilah perspektif "Innalilahi wa inna ilaihi rajiun" seharusnya diterapkan.
SCORE : 4/5
0 Komentar